Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Artikel

POSISI SAINI

Oleh : Acep Zamzam Noor


SAYA mengenal nama Saini K.M. lewat ulasan-ulasannya tentang puisi yang sangat memukau di lembaran "Pertemuan Kecil" Pikiran Rakyat, sejak tahun 1979. Bagi seorang pemula yang dahaga seperti saya, membaca ulasan-ulasan tersebut seperti mendapatkan siraman rohani yang sangat menyegarkan. Saini membahas teknik-teknik dasar menulis puisi seperti tema, pencitraan, rancang bangun dan proses kreatif dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Bukan hanya teknik-teknik dasar tadi, tapi juga soal logika dan bahasa puisi yang sering membingungkan bagi penyair pemula. Yang paling mengesankan bagi saya adalah ketika secara bersambung menguraikan hubungan antara seniman dan masyarakat. Di sini Saini seperti seorang kiyai yang mengajarkan kepada santri-santrinya tentang pentingnya "akhlak" bagi seorang penyair. Saini menekankan pentingnya ketulusan dan kejujuran sebagai syarat terciptanya puisi yang baik. Menurutnya, seorang penyair menulis puisi harus karena dorongan murni dari dalam dirinya, bukan karena pengaruh dari luar seperti ingin terkenal, ingin berpengaruh, ingin berkuasa atau ingin sekedar disebut "penyair". Menulis puisi karena dorongan popularitas hanya akan menghasilkan puisi yang dibuat-buat. Ulasan-ulasannya yang seperti petuah ini terus hidup dalam pikiran saya hingga kini. Ulasan-ulasannya ini pula yang kemudian membuat saya mampu membedakan mana penyair dan mana penyanyi dangdut, meskipun keduanya sama-sama seniman. Mana seniman dan mana politisi, meskipun keduanya sama-sama penting untuk sebuah negara.


Saini K.M. mungkin termasuk penyair yang sangat sulit ditemukan puisi-puisinya, seperti halnya puisi-puisi Goenawan Mohamad pada tahun 1980-an. Meski saya sudah akrab dengan ulasan-ulasannya tentang puisi namun saya jarang sekali membaca puisi-puisinya. Dari majalah-majalah lama saya hanya menemukan satu dua puisinya. Pada pertengahan 1980-an saya menemukan kumpulan puisinya Rumah Cermin, lalu disusul Sepuluh Orang Utusan yang terbit 1989. Sementara kumpulan puisi pertamanya Nyanyian Tanah Air yang terbit tahun 1968, yang konon pernah dibahas Goenawan Mohamad dan disebut sebagai puisi-puisi platonis hanya saya dengar dari cerita orang saja.


Saya tidak tahu kenapa Saini K.M. sebagai penyair jarang sekali mempublikasikan puisi-puisinya di media massa. Saya sempat curiga jangan-jangan sudah tidak berkarya lagi. Atau karena posisinya sebagai penjaga gawang puisi "Pertemuan Kecil" yang suka mengkritisi karya-karya orang lain, dan mungkin saja hal yang sama diterapkannya juga pada karya-karya sendiri. Tapi bisa jadi karena sikap menahan diri yang mungkin ada hubungannya dengan "akhlak" kepenyairan yang sering difatwakan kepada calon-calon penyair yang menjadi santrinya. Perilaku jarang mempublikasikan puisi sebenarnya juga menjangkiti para penyair terkemuka Indonesia lainnya, namun para penyair lain cukup aktif membacakan puisi-puisinya di depan publik, bahkan di layar telivisi bersama para menteri dan selebriti. Setahu saya Saini sangat jarang membacakan puisi-puisinya di depan publik.


Setelah terbit kumpulan puisi terbarunya yang juga berjudul Nyanyian Tanah Air pada tahun 2000, kecurigaan saya bahwa Saini K.M. sudah tidak berkarya lagi ternyata keliru. Saini masih produktif. Dalam bukunya ini banyak puisi yang ditulis pada dekade 1980-an dan 1990-an di luar yang pernah termuat dalam Sepuluh Orang Utusan. Sikap menahan diri dan "tidak kebelet" yang dimiliki Saini nampaknya merupakan perwujudan dari sikap kepenyairannya. Sikap seperti inilah yang kemudian menunjukkan bahwa maqom penyair memang berbeda dengan penyanyi dangdut. Begitu juga dengan politisi. Dalam salah satu pesannya untuk para penyair muda, seperti seorang kiyai Saini mengingatkan:


Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu

Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal

Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi

Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya


Seperti juga bagi penyanyi dangdut, bagi politisi pesan ini tak akan berbunyi apa-apa. Politisi akan berusaha mengejar setiap kesempatan dan merebut semua peluang yang berkelebat di depannya. Karir mereka kadang sangat ditentukan oleh mahluk yang namanya kesempatan dan peluang itu. Tak heran jika mereka akan menempuh segala macam cara demi kepentingan karirnya tersebut. Sementara bagi seorang Saini K.M. kepenyairan bukanlah karir, tapi lebih pada keterpanggilan. Keterpanggilan untuk rela menjadi sajen yang tak dikenal. Rela untuk menjadi sekedar sepi. Kerelaan untuk dilupakan orang. Kerelaan yang mustahil akan muncul dari seorang penyanyi dangdut atau politisi.


Pada dekade 1970-an umumnya penyair-penyair Indonesia muncul melalui jalur "birokrasi kesenian" seperti TIM, Pustaka Jaya atau Majalah Horison, yang pada waktu itu menjadi semacam institusi "pembaptisan" tidak resmi bagi seorang penyair. Saini K.M. nampaknya tidak menempuh jalur umum itu. Antologi-antologi penting seperti Laut Biru Langit Biru pun ternyata tak memuat satu pun karyanya. Bahkan dua kumpulan puisi pertamanya hanya terbit secara indie label di Bandung. Saini justru lebih dikenal dan dihormati masyarakat sastra lewat ketekunannya yang luar biasa sebagai pengasuh "Kuntum Mekar" dan "Pertemuan Kecil" selama belasan tahun, yang telah melahirkan begitu banyak penyair. Ketekunan yang mungkin hanya dimiliki oleh seorang kiyai kampung yang tulus dan ikhlas mengasuh santri-santrinya. Ketekunan semacam inilah, menurut saya, yang kemudian memposisikan Saini menempati tempat "khusus" dalam khazanah perpuisian Indonesia. Selain Saini, hanya penyair Umbu Landu Paranggi yang layak disebut untuk menempati posisi "khusus" ini, meskipun cara dan gaya yang dipakai kedua "kiyai" ini berbeda.


Posisi "khusus" ini jelas bukan semata-mata karena ketekunannya membina para penyair muda, tapi juga ditunjukkan oleh karya-karyanya yang memang bernilai. Bahkan puisi-puisinya, yang sebenarnya baru saya baca secara lengkap belakangan ini, menjadi contoh kongkrit dari ulasan-ulasannya tentang puisi di masa lalu. Saini KM tidak hanya berteori tentang puisi, tapi juga berusaha mewujudkannya dalam karya. Saini tidak hanya bicara soal sikap seorang penyair, tapi juga menjadikan dirinya contoh.


Terbitnya Nyanyian Tanah Air yang memuat 100 puisi ini memberi kesempatan kepada saya untuk lebih mengakrabi puisi-puisinya, terutama puisi-puisi awalnya yang ditulis tahun 1960-an. Puisi-puisi awal Saini K.M. adalah puisi-puisi lirik yang juga banyak ditulis para penyair terkemuka lainnya di awal kepenyairan mereka. Sitor Situmorang, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi, Abdul Hadi W.M., Linus Suryadi A.G., Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Jenis puisi konvensional yang jika diurut ke belakang akan melibatkan banyak sekali nama seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Hartojo Andangdjaja dan lain-lain.


Nampaknya banyak penyair terkemuka kita yang menganggap menulis puisi lirik itu sangat penting hingga kepenyairan mereka diawali dengan menulis puisi jenis itu. Dan terbukti, penyair yang mengawali kepenyairannya dengan puisi lirik kebanyakan menjadi penyair yang baik. Misalnya Rendra dengan Empat Kumpulan Sajak, Taufiq Ismail dengan Sajak Ladang Jagung, Goenawan Mohamad dengan Parikesit, Sapardi Djoko Damono dengan DukaMu Abadi, Abdul Hadi W.M. dengan Laut Belum Pasang, Linus Suryadi A.G. dengan Langit Kelabu, Emha Ainun Nadjib dengan M Frustrasi dan lain-lain.


Tahun 1960 Saini K.M. menulis sejumlah puisi lirik yang di antaranya berjudul "Kota Kelahiran" dan "Priangan". Bagi saya kedua puisi ini sangat penting karena merupakan tiang yang sangat kokoh bagi bangunan estetika kepenyairannya di kemudian hari. Ada benang merah yang menghubungkan kedua puisi ini dengan puisi-puisi mutakhirnya kini. Bentuk kwatrin yang dipilih membuat puisi-puisi Saini sangat tertib dan teratur, baik dalam bait maupun baris. Ketertiban dan keteraturan yang menjadi ciri khas Saini dalam puisi-puisinya tak bisa dilepaskan dari kedua puisi awalnya ini. Sebenarnya tema kedua puisi ini sangat sederhana. Pikiran dan perasaan penyair yang mendalam tentang tanah kelahiran diungkapkan dengan cara yang bersahaja, begitu juga penggambaran alam sebagai latar puisinya. Saya kutip puisi "Kota Kelahiran":


Mengimbau kotaku di dasar hijau lembahmu

Dinafasi angin di dua musim

Ketika fajar berlinang embun

Dan gugur bunga-bunga kemarau


Betapa banyak di sana bulan jatuh ke kali

Terapung dalam air rindu kita

Surat-surat terlambat atas rentangan rel kereta

Jendela yang senantiasa terbuka ke arah masa lalu


Betapa banyak di sini hujan menguyupkan hatiku

Dan malam lewat atas pelupuk mata terbuka

Jalan panjang merangkai tahun ke tahun

Di likunya wajah-wajah berdesak menyuruki sepi


Kesederhanaan puisi Saini K.M. adalah kesederhanaan yang terjaga dan terukur, kesederhanaan yang fungsional. Kesederhanaan yang lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap anasir-anasir puisi. Kesederhanaan yang justru malah menyiratkan kekayaan, baik makna maupun bunyi. Tanah kelahiran misalnya, yang menjadi tema dari banyak puisi-puisi awalnya, hadir bukan hanya sebagai latar tapi juga sebagai lambang yang menghidupkan puisi.


Sementara puisi yang berjudul "Bagi Sebuah Sajak", yang dari judulnya kita bisa menebak bahwa penyair akan memaparkan pandangannya tentang puisi, namun karena kwalitas pemilihan kata-katanya yang kuat dan terjaga, kita malah mendapatkan lebih dari sekedar penggambarannya tentang puisi. Kita juga mendapatkan pandangannya tentang manusia. Jika pun puisi ini sedikit agak sulit dipahami karena lambang-lambang yang digunakannya seperti tak ada hubungan dengan masalah puisi, toh kita sebagai pembaca masih bisa menangkap suasana yang dibangun oleh permainan diksi dan anasir bunyi, yang membantu penghayatan kita tentang puisi. Saya kutipkan dua bait pertamanya:


Anak dari segala duka, dengan nama apakah

akan kutandai kehadiranmu yang besar

Suara semesta suara, tiada arti bagimu

suatu bisik, sebuah nama, sepatah kata sunyi.


Dari kesumat dan kasih, berbapakkan hari

beribu malam-malam jagaku, kau pun menjelma

di luar batas waktu, di luar batas abad demi abad

yang dijelang dan bertolak pergi.


Banyak puisi-puisi indah lainnya yang ditulis dalam dekade 1960-an seperti "Kanak-kanak", "Sajak Buat Anak-anak", "Lagu", "Ada Sebuah Negeri", "Nyanyian Tanah Air", "Selain Cahaya Matamu", "Sebuah Wajah" atau "Kepada Perempuan Yang Sedang Tidur". Puisi-puisi yang sering disebut orang sebagai puisi suasana hati, puisi kamar atau puisi yang bergumam ini seperti menegaskan pada saya, bahwa Saini K.M. adalah salah seorang penyair lirik yang kuat di samping Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umbu Landu Paranggi dan Abdul Hadi W.M.


Puisi-puisi Saini K.M. adalah puisi yang masih setia memelihara anasir puisi. Anasir sajak. Ada konvensi yang terus menerus dipelihara. Ada kedisiplinan yang keras kepala. Meskipun tidak selalu merdu atau melodius, puisi-puisi Saini yang bentuknya bertahan pada pola kwatrin tak pernah lepas dari peranan bunyi, rima atau irama. Bentuk seperti ini sangat efektif untuk puisi-puisi yang bertema suasana hati, cinta, panorama atau yang bersifat perenungan tentang eksistensi manusia, yang juga banyak ditulis Saini. Namun Saini bukan hanya penyair tapi juga intelektual, budayawan dan pendidik yang mempunyai minat besar pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Maka puisi-puisinya pun tidak berberhenti hanya pada tema yang disebut di muka, tapi juga merambah pada filsafat, mitologi, sejarah, masalah sosial dan politik. Sejak kumpulan puisi pertamanya Saini sudah menampakkan perhatiannya pada masalah sosial dan politik. Di samping menulis puisi-puisi suasana hati yang indah ia pun menulis tema-tema sosial, khususnya pergerakan mahasiswa dan kepahlawanan, misalnya "Wasiat Seorang Ayah", "Tidurlah Pahlawan", Anggota Kami Pada Kawannya", "Pada Suatu Hari Nanti", "Mereka Datang Kepada Saya", "Bendera Darah dan Airmata Kami" dan beberapa lagi.


Puisi-puisi yang temanya mungkin bisa disebut "kontekstual" pada zamannya ini tetap ditulis Saini K.M. dengan gaya yang sama. Rapih, tertib dan disiplin pada pola kwatrin. Saini sangat konsisten dengan pola ini. Untuk beberapa puisi yang bersifat doa atau refleksi dari sebuah peristiwa, bentuk ini masih terasa efektif. Kata-kata yang dipilih masih berkarakter lirik, masif dan menyatu dalam bangunan puisi yang kokoh. Saya kutipkan bait kedua puisi "Tidurlah Pahlawan" yang didedikasikan untuk Julius Usman:


Ketika iringan jenazah diusung dari kota ke kota

gemetarlah gempa bumi bawah derap berjuta kaki

dari sebuah pasukan yang bangkit tanpa panglima

tanpa perintah, selain bisik nurani


Goenawan Mohamad juga menulis puisi-puisi kontekstual di samping puisi-puisi susana hatinya yang memukau. Namun berbeda dengan Saini K.M., Goenawan adalah seorang eksperimentalis -- meskipun masih dalam koridor lirik. Goenawan tidak terlalu setia pada bentuk kwatrin, tapi kadang-kadang berimprovisasi dan liar. Bahkan beberapa puisi kontekstualnya seperti "Tentang Seseorang Yang Terbunuh Di Sekitar Hari Pemilihan Umum" atau "Cerita Buat Yap Thiam Hien" ditulis dengan gaya naratif yang segar. Atau beberapa puisinya tentang kekerasan malah ditulis dalam bentuk lirik minimalis yang sangat sederhana namun menggoda, tengok misalnya "Der Prozess", "Pagi" dan "Lanskap". Saya ingin membandingkan Saini dengan Goenawan Mohamad karena keduanya sama-sama jawara lirik yang berangkat dari pola kwatrin. Keduanya juga intelektual dan budayawan yang punya minat pada banyak hal. Bahkan keduanya dikenal sebagai ensliklopedi berjalan. Hanya yang satu "setia" pada konvensi, yang satunya suka "berkelana".


Pada dekade 1980-an dan 1990-an Saini K.M. banyak menulis puisi yang semakin menunjukkan minatnya pada masalah-masalah sosial. Saini banyak menulis puisi-puisi tentang atau yang ditujukan pada nama-nama tertentu, baik tokoh yang dikenal umum maupun yang dikenal secara pribadi oleh penyairnya. Muhammad Toha, Sum Kuning, Dede Hudaya Padmadimaja, Samad, Ahim, Suganda, Acil, Sukardal, Suryomentaram, Dewi Sartika, Prof. Dr.. Yus Rusyana dan Marsinah adalah nama-nama yang menjadi judul puisi-puisinya. Puisi-puisi ini semacam ode yang merupakan ungkapan kekaguman atau penghormatan, namun juga sekaligus balada yang mengisahkan nama-nama tersebut.


Inilah bedanya Saini K.M. dengan Goenawan Mohamad. Baik ode maupun balada, baik yang kontemplatif maupun yang naratif, Saini tetap menuliskannya dengan pola dan disiplin yang sama. "Suryomentaraman", "Dewi Sartika", dan "Prof. Dr.. Yus Rusyana" adalah puisi-puisi yang berhasil karena tetap menyiratkan keindahan dan kebeningan lirik. Sementara "Sukardal", "Sum Kuning", "Dede Hudaya Padmadimaja", "Samad, Sebelum Tewas di Gelanggang Dangdut", "Ahim, Pengangkut Sampah", dan "Pak Guru Acil" bagi saya rasanya menjadi puisi naratif yang tanggung. Untuk memberi kesan naratif, nampaknya Saini lebih memilih memasukkan kata-kata pasar atau sehari-hari ke dalam puisinya ketimbang merubah bentuk atau rancang bangun menjadi lebih plastis. Namun kata-kata pasar seperti "terkutuk oleh tubuh montok" atau "kita cubit pantat gadis-gadis gatal selagi goyang" rasanya menjadi aneh dan artifisial di tangan Saini yang terlanjur dikenal sebagai pribadi santun dan serius.


Tentu saja puisi-puisi yang saya sebutkan tadi adalah puisi-puisi yang mempunyai makna. Puisi-puisi yang lebih dekat pada rasio ketimbang intuisi, puisi-puisi yang memang mudah dimengerti. Para sosiolog, pengamat sosial, aktivis LSM, demonstran mungkin akan merasa antusias dengan puisi-puisi semacam ini. Namun karena saya penyair, yang biasa menempatkan makna bukan yang paling utama dalam sebuah puisi, maka saya lebih menyukai puisi-puisinya yang lain, yang bagi saya jauh lebih menggetarkan.

Goenawan Mohamad pernah mengatakan bahwa puisi-puisi Saini K.M. adalah puisi-puisi yang pasti dan selesai, sehingga tak banyak memberi ruang untuk ditafsir ulang oleh pembaca. "Melihat ketigapuluh sajak yang dipilihnya sendiri dari prestasi selama delapan tahun, saya tidak melihat kemungkinan perubahan-perubahan yang akan mengejutkan pada Saini. Kecuali, tentu saja, jika terjadi perubahan radikal dalam kehidupan dan pandangan-pandangannya. Sampai kumpulan yang kita bicarakan ini, Saini telah menunjukkan satu kepribadian yang sudah terbentuk, suatu gaya tersendiri," tulis Goenawan tentang Nyanyian Tanah Air versi pertama.


Di akhir tulisan ini saya tidak akan menyarankan Saini K.M. untuk belajar "tidak setia" dan sedikit "berkelana" seperti halnya Goenawan Mohamad, karena bagaimana pun "kesetiaan" yang keras kepala itu sangat berharga untuk zaman kita yang penuh perselingkuhan ini. []


Readmore

Acep Zamzam Noor

Gua Pettae


Bongkahan batu

Adalah kata

Yang digosok angin

Dan udara


Berabad penyair

Menggembala

Waktu


Sebuah istana

Tercipta dari kata


Berabad penyair

Menjadi raja


Tetes airmata

Adalah kata

Dan kata


Berabad penyair

Menggali kuburan

Ganda


Bagi kata dan kata


2002.


Leang-leang


Gambar di batu

Mantera di gua


Dari langit tembaga

Turun hujan

Kata


Kata mengalirkan waktu

Tahun menyeret usia

Ke muara


Gua tersembunyi

Dalam hati


Batu menyala

Di ujung jari


Dari sungai kata

Bergolak

Sepi


Sepi naik ke langit

Air naik ke bukit

Ke batu akik


Membangun monumen

Di udara


2002.


Somba Opu


Tak lagi pergi harimu

Tak lagi datang malammu

Waktu telah berhenti

Di tubuhmu


2003.


Meulaboh


Namamu yang terpahat pada marmar hitam

Hurup-hurupnya kembali kueja. Sebuah kaligrafi tua

Samar-samar tak terbaca


2003.


Ulee Kareng


Waktu yang ditoreh ujung belati

Tepat pada lambungnya yang sunyi


2003.

Readmore

Artikel

WADAH SASTRAWAN INDONESIA
PERLUKAH?


Acep Zamzam Noor

1

HAMPIR setahun yang lalu penyair Saeful Badar mendapat masalah serius. Puisinya yang berjudul "Malaikat" yang dimuat di rubrik budaya Pikiran Rakyat mendapat reaksi sangat keras dari sejumlah ormas Islam di Jawa Barat karena dianggap telah melecehkan agama, dalam hal ini mengolok-olok malaikat yang dianggap suci oleh umat Islam. Ormas-ormas itu bukan hanya menteror Pikiran Rakyat lewat telepon, sms, faks, email dan mengancam akan melakukan demo besar-besaran, mereka juga memberikan pernyataan resmi yang memvonis Saeful Badar secara sepihak. Mereka menganggap kesalahan penyair asal Tasikmalaya yang aktivitas sehari-harinya membimbing anak-anak madrasah dalam berkesenian itu setara dengan Salman Rushdi yang menulis Ayat-ayat Setan serta pembuat kartun tentang Nabi Muhammad SAW di Denmark. Mereka menuntut Pikiran Rakyat agar mencabut pemuatan puisi tersebut serta meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam, selain itu mereka juga mendesak Pikiran Rakyat agar memberhentikan redaktur budaya (yang meloloskan puisi tersebut) serta mencekal tulisan-tulisan Saeful Badar di Pikiran Rakyat.

Seluruh tuntutan dan desakan mereka yang mengatasnamakan ormas-ormas Islam itu dikabulkan. Sehari setelah pemuatan puisi "Malaikat", Pikiran Rakyat secara resmi meminta maaf di halaman pertama. Besoknya dimuat juga penyataan resmi ormas-ormas Islam yang mengutuk puisi karya Saeful Badar itu. Beberapa hari kemudian Rahim Asyik, redaktur budaya yang memuat puisi tersebut, diberhentikan dari kedudukannya sebagai redaktur budaya. Di Tasikmalaya, penyair Saeful Badar menggigil ketakutan. Bukan hanya karena tulisan-tulisannya akan dicekal Pikiran Rakyat, namun isu yang kemudian merebak di tengah masyarakat menjadi sangat liar. Saeful Badar diisukan sebagai penyebar aliran sesat, dan sekretariat Sanggar Sastra Tasik (SST), di mana Saeful Badar tinggal, juga dituduh sebagai markas aliran tersebut. Tidak semua masyarakat berkesempatan membaca puisi "Malaikat" secara langsung, namun mereka mendapatkan isunya yang sudah bermetamorfosis sedemikian rupa dari mulut ke mulut. Selama beberapa hari sekretariat SST dijaga polisi berpakaian preman, yang baru belakangan diketahui maksudnya untuk berjaga jika ada serangan dari kelompok Islam keras. Maklum pada waktu itu Tasikmalaya sedang marak dengan aksi-aksi anarkis terhadap kelompok Ahmadiyah dan Wahidiyah, yang dianggap sesat.

Kasus puisi "Malaikat" ini kemudian menjadi panjang dan lucu. Banyak orang membicarakannya, mulai dari tukang-tukang becak di pinggir jalan sampai para sastrawan di milis-milis. Ada yang merasa bersimfati pada nasib Saeful Badar yang hidupnya kemudian menjadi sangat tertekan, ada juga yang menyayangkan kenapa dia mau saja disuruh minta maaf dan mengaku salah sekedar untuk meredakan amarah ormas-ormas Islam itu. Ada yang menganggap puisi itu memang gawat, banyak juga yang berpendapat puisi itu biasa-biasa saja, hanya berfantasi tentang malaikat dengan imaji anak-anak dan tidak akan sampai membahayakan iman pembacanya. Ada yang berteori tentang masalah tafsir terhadap teks, ada yang menghubungkannya dengan fenomena sastra kelamin dan gerakan syahwat merdeka, ada juga yang melihat bahwa Saeful Badar hanyalah korban eforia kelompok tertentu yang sedang semangat-semangatnya meberantas kesesatan, hingga persoalan apapun akan dihubung-hubungkan dengan moral dan agama.

2

Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud membahas puisi "Malaikat" karya Saeful Badar yang sempat menghebohkan itu. Namun dengan terjadinya kasus tersebut banyak teman yang kemudian berpikir tentang pentingnya organisasi profesi bagi para sastrawan seperti yang sudah dilakukan oleh profesi-profesi lain di Indonesia. Seorang teman kemudian menyebut dokter, insinyur, pengusaha, advokat, guru, paranormal, atlit, pengamen, pengemis, preman, satpam dan lain-lain yang sudah membentuk organisasi atau wadah bagi profesi mereka. "Lalu fungsinya untuk apa?" tanya saya. Teman tadi dengan semangat menjelaskan bahwa wadah atau organisasi ini sangat penting, misalnya untuk membela para sastrawan yang terkena masalah seperti Saeful Badar. Dengan adanya organisasi kita bisa membelanya secara formal lewat jalur hukum. Lalu dia pun mengusulkan nama Indonesian Writers United (IWU) untuk nama organisasi tersebut. Wah, mirip klub sepakbola terkenal dari Inggris dong. Lalu terpikirlahlah nama-nama lain yang mungkin lebih membumi, lebih akrab dan merakyat, misalnya Perserikatan Sastrawan Indonesia Baru (PERSIB), Perserikatan Sastrawan Setengah Baya (PERSIBAYA), Perserikatan Sastrawan Pura-pura (PERSIPURA), Perserikatan Sastrawan Jahiliyah (PERSIJA), Perserikatan Sastrawan Rakyat Jelata (PERSIRAJA), Perserikatan Sastrawan Islam (PERSIS), Perserikatan Sastrawan Ilmu Kebal (PERSIK), Perserikatan Sastrawan Indonesia Miskin (PSIM), Perserikatan Sastrawan Indonesia Sejahtera (PSIS), Perserikatan Sastrawan Muda Selalu (PSMS), Perserikatan Sastrawan Dangdut Sejati (PSDS), Perserikatan Sastrawan Takut Razia (PERSITARA), Perserikatan Sastrawan Kalah Bersaing (PERSIKAB), Perserikatan Sastrawan Enak Makan (PERSEMA) atau Perserikatan Sastrawan Asoy Deh (PSAD).

Setelah sejumlah nama organisasi yang terkesan lokal dan bahkan sangat dangdut memenuhi kepala saya, tiba-tiba sejumlah pertanyaan bermunculan. Apakah menulis karya sastra bisa disebut sebagai profesi? Lalu apakah profesi atau profesional itu? Apakah pekerjaan sastrawan termasuk amatir atau profesional? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini tidak bisa saya jawab. Saya merasa bahwa penyair berbeda sekali dengan dokter, insinyur, advokat, guru, satpam, pengusaha atau pengemis. Jika dokter, insinyur, advokat, guru, satpam, pengusaha atau pengemis hidup dari apa yang dikerjakannya, atau dengan kata lain dari jasa yang diberikannya, saya merasa bahwa sastrawan (lebih-lebih penyair) tidak selalu demikian. Jika dokter, insinyur, advokat atau guru bekerja setiap hari atau dengan jadwal yang jelas, saya merasa bahwa sastrawan (lebih-lebih penyair) tidak selalu harus menulis setiap hari atau bekerja dengan jadwal dan disiplin yang rutin. Bahkan banyak penyair yang hanya menghasilkan satu dua puisi dalam setahun. Begitu juga dengan novelis, banyak yang karyanya baru bisa diselesaikan setelah memakan waktu bertahun-tahun, termasuk riset yang tentu memerlukan biaya. Lalu selama sekian tahun bekerja keras menyelesaikan karya tersebut siapa yang menanggung kebutuhan hidupnya sehari-hari? Kalau memang profesional ia seharusnya hidup dari apa yang dikerjakannya.

Setelah diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, saya kemudian berpikir jangan-jangan sebutan yang paling cocok bagi sastrawan Indonesia bukanlah prefesional, melainkan amatir. Toh istilah amatir bukanlah sesuatu yang jelek atau rendah serta tidak ada hubungannya dengan pencapaian kwalitas karya seseorang. Sebuah karya sastra yang serius bisa saja ditulis oleh seorang yang merasa dirinya amatir. Bukankah amatir berasal dari kata amore yang berarti cinta dan ini sangat erat hubungannya dengan kesukaan, kesenangan, kecintaan serta pengorbanan pada pekerjaan yang ditekuni. Memang amatir kesannya cuma sekedar hobi, namun hobi yang ditekuni dengan serius serta penuh cinta bisa saja hasilnya jauh lebih dahsyat dari pekerjaan profesional yang dijalani karena kewajiban semata.

Tiba-tiba saja saya jadi teringat pada Umar Kayam, Budi Darma, Y.B. Mangunwijaya, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Saini KM, Abdul Hadi WM, Darmanto Yt, Goenawan Mohamad, Seno Gumira Ajidarma, Bakdi Soemanto dan Ahmad Tohari. Para sastrawan terkemuka kita ini sebenarnya orang-orang amatir juga. Mereka umumnya mempunyai profesi resmi di luar kesukaannya menulis karya sastra, baik sebagai dosen, guru besar, arsitek, pastor, manager perusahaan, wartawan atau redaktur yang memberinya penghasilan tetap setiap bulan. Saya juga teringat pada Gus Dur yang menekuni hobinya mengurus Nahdlatul Ulama (NU) selama belasan tahun dengan penuh cinta, meskipun tanpa menerima gaji. Sesuatu yang tentu saja sulit jika dilakukan oleh seorang profesional. (Eh, saya juga teringat pada Pak Harto yang menekuni hobinya menjadi presiden selama puluhan tahun, meskipun untuk mempertahankan hobi yang dicintainya tersebut beliau harus menghalalkan segala cara).

3

Dengan gambaran yang saya kemukan di atas, apakah para sastrawan Indonesia yang menurut saya cenderung amatir ini membutuhkan organisasi atau wadah formal untuk berserikat? Saya sulit membayangkannya jika organisasi sastrawan tersebut berskala nasional seperti halnya organisasi-organisasi profesi lain. Apakah organisasi ini bersifat struktural dengan membuat cabang di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan seperti halnya ormas atau partai politik? Apakah organisasi sastrawan ini perlu kantor untuk sekretariat, lalu kalau perlu kantor dari mana dananya? Kalau untuk profesi lain seperti guru mungkin lebih mudah dengan memotong gaji para anggota sebagai iuran bulanan, dan dengan dana tersebut roda organisasi bisa dijalankan. Lalu siapakah yang akan menjadi pengurusnya? Apakah struktur pengurusnya harus lengkap mulai dari pusat hingga anak cabang di kecamatan? Kalau mau mengadopsi organisasi amatir seperti Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PERTINA), biasanya merekrut ketuanya dari kalangan pejabat atau politisi agar mudah dalam mendapatkan subsidi, sementara para petinju tugasnya hanya berlatih saja. Atau akan meniru organisasi profesi seperti PGRI, IDI, IKADIN dan sejenisnya yang dikelola secara mandiri? Kalau dikelola secara mandiri berarti harus memikirkan sumber dananya, apakah dengan cara memotong honor setiap tulisan para anggota yang dimuat atau royalti bagi mereka yang bukunya terbit? Lalu bagaimana teknisnya jika buku tersebut diterbitkan dan dibiayai sendiri oleh pengarangnya?

Sementara kalau kepengurusan organisasi tersebut melibatkan pejabat atau politisi seperti model PERTINA, PBSI, PSSI dan sejenisnya, apakah para sastrawan siap jika sekali waktu organisasinya tersebut dijadikan organ politik atau "dijual" untuk kepentingan dukung-mendukung dalam Pilpres, Pilkada atau Pemilu? Dengan kata lain apakah para sastrawan siap menjadi broker politik sebagai konsekwensi berorganisasi dengan melibatkan pejabat dan politisi? Apakah para sastrawan siap menjadi jurkam jika ketuanya ternyata ingin mencalonkan diri menjadi presiden seperti yang terjadi di PBSI? Apakah para sastrawan juga siap membela jika ketuanya justru malah masuk penjara karena korupsi seperti yang berkali-kali dialami ketua PSSI misalnya?

4

Untuk pertanyaan-pertanyaan di atas tidak perlu dicari apa jawabnya dulu, namun cukup di renungkan saja dalam-dalam. Pekerjaan sastrawan, seperti yang saya singgung di atas, jelas berbeda sifat dan semangatnya dengan pekerjaan profesional yang dilakukan dokter, insinyur, advokat, guru atau pengusaha misalnya.. Begitu juga dalam upaya membentuk organisasi, kepentingannya akan sangat berbeda pula. Menurut saya, ketika sastrawan berniat membentuk sebuah organisasi maka tujuan utamanya haruslah untuk kepentingan proses kreatif dan apresiasi, bukan untuk maksud lain. Tujuan utamanya haruslah untuk meningkatkan kreativitas dalam berkarya dan bagaimana menghasilkan karya-karya yang baik, lalu memikirkan bagaimana karya-karya tersebut bisa memasyarakat. Jika dua hal ini yang menjadi tujuan utama, maka rasanya kurang begitu perlu organisasi formal yang berskala nasional dibentuk. Para sastrawan rasanya sudah cukup dengan menghidupkan komunitas-komunitas yang ada di daerah sebagai laboratorium proses kreatif mereka sekaligus wadah untuk apresiasi masyarakat. Yang penting ada komunikasi yang baik antar komunitas di berbagai daerah sehingga terjalin sebuah ikatan atau jaringan yang sifatnya "batin". Ikatan atau jaringan yang bersifat batin atau spiritual ini jauh lebih efektif dalam membangun komunikasi, silaturahmi, kebersamaan, solidaritas dan toleransi antar sastrawan dan juga calon sastrawan di manapun berada, selain untuk kepentingan meningkatkan proses kreatif itu sendiri.

Ada beberapa jenis komunitas yang tumbuh di beberapa daerah. Pertama, komunitas yang berbentuk sanggar. Komunitas jenis ini sifatnya melatih atau membimbing para anggota dalam proses panjang menjadi sastrawan, mulai dari hal-hal teknis menulis, membuka wawasan, meningkatkan apresiasi dengan membaca dan diskusi serta pembinaan yang hubungannya dengan mental. Atau dengan kata lain komunitas jenis ini berfungsi sebagai laboratorium tempat para sastrawan atau calon sastrawan bergesekan secara langsung dalam proses kreatif mereka. Secara organisasi komunitas jenis ini sedikit longgar dan terbuka hingga bisa menarik lebih banyak anggota, mulai dari yang ingin belajar, simpatisan sampai mereka yang berkepentingan dengan sastra seperti siswa, mahasiswa, santri, guru, dosen dan masyarakat umum peminat sastra. Kedua, komunitas yang berbentuk lembaga swadaya. Komunitas jenis ini harus lebih serius organisasinya karena akan menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mengadakan berbagai kegiatan, baik pementasan kesenian, diskusi, seminar, pertemuan sastrawan, festival, pameran, pelatihan serta penelitian. Komunitas jenis ini biasanya tidak melakukan pembinaan secara langsung terhadap anggotanya seperti di sanggar, namun lebih banyak bergerak di bidang wacana, pemikiran, apresiasi, dokumentasi atau penelitian sastra. Ketiga, komunitas yang merupakan gabungan dari dua jenis yang saya sebut di atas, yakni yang bergaya sanggar sanggar dan lembaga swadaya. Apapun jenisnya, apapun titik berat gerakannya bagi saya komunitas yang merupakan laboratorium atau wadah informal seperti inilah yang paling cocok bagi para sastrawan atau calon sastrawan Indonesia yang cenderung amatir, ketimbang organisasi formal dan struktural yang mungkin hanya akan mengurus atau menyentuh hal-hal formal dan permukaan saja.

Jadi masih perlukah dibentuk organisasi sastrawan berskala nasional? Untuk apa? Kasus yang menimpa Saeful Badar bukan hanya mengusik para sastrawan yang tinggal di Tasikmalaya atau Jawa Barat saja, namun juga menimbulkan keprihatinan para sastrawan di manapun berada. Berbulan-bulan setelah kejadian kasusnya masih terus diperbincangkan baik di milis, di media massa atau dalam diskusi-diskusi di berbagai daerah. Ini menjadi bukti bahwa ada ikatan batin yang terjalin diam-diam di antara para sastrawan kita. Ada solidaritas dan keprihatinan bersama. Ikatan batin ini, menurut saya, tidak perlu diformalkan sebagai organisasi resmi, yang mungkin saja akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga kita yang sebenarnya diberikan Tuhan untuk berkarya. Meskipun begitu, semuanya saya kembalikan kepada rekan-rekan. []















Readmore

Acep Zamzam Noor

Menjadi Penyair Lagi

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin.
Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap menyaksikan penyanyi dangdut di televisi

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi.

Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyelinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi.

Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja kaca
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi.
Lalu kutulis puisi

Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, BH serta ikat pinggangmu
Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal

Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam

Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya

O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi


Perubahan

Kami menunggu seseorang
Menunggu seseorang yang membawa obor
Dan menyimpan bajak serta lunas perahu di matanya

Mengaku bukan penyair atau pegawai negeri
Berbicara dengan bahasa sederhana dan mengerti
Persoalan sehari-hari.

Sudah lama kami tegang
Kami melihat arus sungai yang deras
Menyaksikan gerak air di antara batu-batu

Airmata kami runtuh juga akhirnya
Sepanjang jalan kami menundukkan kepala
Menghitung langkah kaki

Kami luluh dan kami pun bisu
Kami seperti orang-orang asing di sini
Tak tahu apapun yang akan terjadi

Kami mengubur kata-kata di dasar hati
Menyumbat kedua telinga
Perubahan yang kami rindukan

Tak kunjung terucapkan


Readmore

Puisi Choer Afandi

Buku Yang Kupinjam


Telah kuikuti semua jejakmu
Pada buku yang kupinjam
Aku mencatat semua yang lewat
Namun wajahmu bukanlah buku atau kenangan
Kubaca dan mudah kulupakan

Aku mencium bau ketiak dan harum rambutmu
Dari halaman demi halaman yang kujuntai
Seketika awan berubah menjadi layang-layang
Dan rambutmu adalah benang pemantang

Aku ingin terbang melayang bergulingan
Bersama angin memadati cakrawala
Kulihat ada dua remaja berbincang
Duduk bercerita tentang ikan-ikan di kolam
Berenang sambil menciumi rumput dan ilalang

Suara beningmu mengejakan huruf-huruf kepadaku
Dan kata-kata itu berjatuhan seperti hujan
Lalu kuserap dalam getar gitar
Aku kembali merayap dari waktu yang lindap
Kujelajahi bukit pertapaan yang panjang

***
Readmore

Puisi Choer Afandi


Memaknai


Menyelamlah kedalaman hati
Berbekal tabung kehidupanlah
Karena suatu waktu kau hisap
Di kedalaman yang gelap

Telusuri luas yang sepi
Tidak ada cahaya menerangi
Rasakan degup jantung
Kian lemah menggantung

Tutup semua kitab suci
Bacalah dalam gelap dan sunyi
Diri selalu menagih puji

Pada lentera hati tersimpan
Butiran mutiara bergelinding
Ambil mutiara itu, satu saja
Akankah engkau mengerti

***

Readmore

Puisi Choer Afandi

Problem

Ada suatu lemah
Dari zaman sepanjang zaman
Lupa terlupakan

Manusia tidaklah puas
Dalam satu keadaan
Tidak ada diam dalam keinginan

Lepaskan roh dari tubuh
Barulah kaku dan terdiam
Manusia hanyalah sebuah koleksi

Seperti koleksi dimiliki manusia
Tuhan beri nikmat dan akal
Yang terlena lupa

Setelah bersumpah pada Tuhan

***

Sakit Gigi

Sakit gigi
Senut-senut
Meluapkan problem hidup
Terbuai letupan nyeri kecut

Sakit gigi
Oh senut-senut

***

Tanya

Gelisah dan pasrah
Berguling-guling
Bersama reruntuhan udara di kolong zaman

Aku letakkan tangan di perutmu
Aku bertanya
Dari gerak di rahimmu

Aku termangu
Mendengar detak jantungmu
Menanti kehadiran anakku

***

Dunia

Dunia adalah bangunan kropos
Membosankan ; datang lalu pergi
Disukai kemudian dibenci

Pandanglah fananya diri
Masa bayi menjadi remaja
Masa remaja berubah tua

Rambut putih
Kulit keriput
Gigi ompong
Mata rabun

Tubuh kokoh menjadi lemah
Kemudian musnah

Kemulian dunia adalah fana
Singgah pada hamparan jiwa
Mendakilah kau bukit dan lembah hina

***


Dua Kata


Aku tulis bahagia, aku ucap
Ingin aku terbangkan
Sekuat tenaga teriakkan
Sampai telinga dunia membusuk

Aku tulis derita, aku rasa
Ingin aku membatu
Seribu kata derita terpendam
Dalam untaian air mata luka

Adalah dua kata derita bahagia
Ingin aku pasrahkan
Pada kehendakMu
Sampai tanah aku berpijak, mencumbu

***
Readmore

Puisi Choer Afandi

Pendengar Setia


Aku lihat pesisir bibir
Tapak lisanmu basah dan kering
Aku mencium bau anyir
Kalimatmu amat menyentil

***

Akhir Tahun


Akhir tahun kita masih menunggu lagi
Percumbuan di ranjang tua
Menghabiskan sisa umur dan tenaga

Tubuh ini sudah terasa garam
Terseret gelombang dan tenggelam
Kegalauan mabuk kepayang

Gaduh suara rintihmu
Buat telinga bergemuruh
Kenapa meledak sekeras itu

Fiesta sudah juga kau reguk
Kita dalam keadaan mabuk
Maaf aku hanya minum sedikit air keruh

Gairahku menepi di pesisir keluh
Tak lagi sanggup aku mendaki shubuh
Kini aku menunggu percumbuan baru

***

Reuni


Takku dapat kata-kata
Untukku lontarkan
Di reuni malam itu

Aku membeku
Sedikit senyum malu
Pada patung-patung syahdu

Berjabat tangan
Mengarah pada rel kehidupan
Lalu berkata aku juga kau

Pecahan kaca di rumah
Simpan saja kedalam peti
Kita kembali berbasa-basi

Aku membeku
Menyimak hantu-hantu
Gentanyangan dari bibirmu

Aku perlu merangkai waktu
Di panggung sandiwara tabu
Bersama para pecinta batu

***
Readmore
Prev Next Next




 

Copyright @ 2011 By. KSC