Acep ZamzamNoor
Tanpa terasa saya telah menulis puisi selama puluhan tahun, tanpa disadari pula saya secara langsung atau tidak langsung telah memberikan kesetiaan yang aneh pada mahluk yang bernama puisi. Dengan demikian, tanpa direncanakan pula saya telah memilih puisi sebagai jalan hidup. Sebuah pilihan yang juga aneh. Pilihan yang saya sendiri heran dan selalu kesulitan jika harus menerangkannya. Ketika panitia Khatulistiwa Award 2008 ini meminta tulisan tentang kesan-kesan saya sebagai penerima anugerah tahun lalu, yang pertama terbayang adalah tahun-tahun awal saya menulis puisi. Pada dekade itu, juga pada dekade setelahnya, rasanya di negeri ini belum ada tradisi penghargaan terhadap karya sastra yang dilakukan secara rutin, apalagi dengan melibatkan uang yang jumlahnya banyak.
Sebagai orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan sastra, cara saya memandang puisi mungkin agak “ganjil” jika dibanding dengan mereka yang paham teori-teori sastra, khususnya teori puisi. Saya selalu kebingungan jika ditanya puisi seperti apakah yang baik itu. Saya juga akan kebingungan jika ditanya bagus mana antara puisi cinta dan puisi protes, antara puisi pendek dan puisi panjang, antara puisi yang sulit dan mudah dipahami, atau puisi yang ditulis perempuan dan laki-laki. Saya selalu menjawab bahwa puisi yang baik adalah puisi yang bisa menggetarkan pembacanya, tak peduli apakah itu puisi cinta atau protes, puisi pendek atau panjang, mudah atau sulit dipahami, ditulis perempuan atau laki-laki. Jadi ukurannya adalah bulu kuduk. Jika saya membaca sebuah puisi dan saya merasa tergetar hingga bulu kuduk saya merinding, apalagi jika tubuh saya sampai menggigil, maka puisi yang saya baca itu pasti puisi yang baik. Puisi yang bisa memberikan pengaruh kepada pembacanya.
Begitu juga dalam proses menulis puisi, saya selalu menggunakan teori yang paling sederhana, yakni teori bulu kuduk. Tangan saya akan tergerak menulis kalau bagian-bagian sensitif dalam diri saya tergetar, dan bagian yang paling sensitif dalam diri saya salah satunya kuduk. Saya bisa tergetar oleh apa saja, mulai dari hal-hal sepele sampai hal-hal yang sifatnya gaib, mulai dari benda-benda sederhana sampai kecantikan seorang wanita, mulai dari peristiwa sehari-hari sampai dahsyatnya gelombang tsunami, mulai dari kejadian-kejadian lucu dalam pilkada sampai ditangkapnya para koruptor oleh KPK. Tentu saja saya tidak berhenti hanya pada teori, karena teori hanyalah sekedar cara, metoda atau tarekat saja. Bagaimanapun sebuah teori, cara, metoda atau tarekat harus terus dilatih dan diasah. Harus terus dilakukan dengan tulus sekaligus keras kepala.
Dalam melatih diri agar tetap mencintai puisi saya mempunyai kebiasaan yang ”ganjil” jika ditinjau dari kacamata kaum akademis. Sejak kecil saya mempunya hobi mengumpulkan batu-batu aji, dari mulai yang pasaran seperti akik sampai yang berkelas seperi safir, rubby, jamrud atau kalimaya. Sebagai kolektor yang serius saya bukan hanya pengumpul namun juga mempelajari bagaimana proses perjalanan sebuah batu dari mulai bongkahan kasar sampai menjadi sesuatu yang berharga.
Ketika banyak anak-anak muda yang datang untuk belajar menulis puisi, maka pelajaran pertama yang saya berikan adalah menyuruhnya menggosok batu aji. Ini bukan hanya melatih keterampilan dalam memproses batu aji, namun juga untuk melatih kesabaran, ketulusan, kecintaan dan juga kerja tanpa pamrih. Bagi saya, syarat menjadi penyair yang baik bukan hanya terampil mengolah kata-kata, namun yang lebih penting adalah kemampuan mengolah batin dan membentuk mental yang tanggul: sabar, tulus, penuh cinta dan tidak mudah tergiur jika seandainya ditawari menjadi caleg atau wakil bupati. Sebenarnya metode ini muncul secara intuitif dalam kehidupan saya, namun pengalaman ini selalu saya ajarkan kepada mereka yang berniat menggeluti kesenian dengan serius. ”Batu aji itu seperti kata, semakin digosok semakin bercahaya,” begitu ujarku. Selain menggosok batu aji, merawat bonsai dan memelihara ikan juga sangat bermanfaat sebagai proses kreatif, jika kita melakukannya dengan intensitas, kekhusyukan dan cinta.
Dengan latihan-latihan sederhana seperti ini, kepenyairan yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan tidak pernah dihargai oleh pemerintah menjadi bukan masalah besar. Kepenyairan yang tidak bisa menghasilkan uang banyak juga bukan masalah yang mengancam. Kepenyairan adalah kewajaran dalam menjalani rutinitas sehari-hari, kegembiraan dalam memandang persoalan dan bersikap santai terhadap kehidupan. Bahkan antara santai dan serius menjadi tidak ada batasnya. Antara becanda dan berkarya tak jelas jaraknya, antara tawa dan tangis tak ada bedanya, antara jatuh cinta dan patah hati sama saja. Dengan demikian miskin dan kaya juga menjadi hal yang biasa, yang sama-sama bisa dinikmati dengan santai dan gembira. Mental seperti ini penting dimiliki oleh seorang penyair, lebih-lebih penyair yang hidup di negara seperti
Ketika tahun lalu saya dikabari memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2007, reaksi saya waktu itu rasanya biasa-biasa saja meski hadiah uangnya konon banyak untuk ukuran penyair yang tidak mempunyai penghasilan tetap seperti saya. ”Ya, lumayanlah. Hadiah ini saya anggap sebagai honor saya menulis puisi selama puluhan tahun,” kata saya. Memang sempat juga terlintas bahwa uang sebanyak itu akan cukup jika saya digunakan untuk poligami, namun kemudian saya teringat pada koleksi batu-batu aji saya yang sebagian merana karena jarang saya pakai. Akhirnya uang itu saya belikan kolam ikan. Memelihara ikan, seperti juga menggosok batu aji dan merawat bonsai, mudah-mudahan bisa memelihara bulu kuduk saya agar tetap sensitif. Dengan sensitif saya akan mudah terharu, setelah mudah terharu biasanya saya akan sering jatuh cinta. Dan dengan jatuh cinta, puisi tentu mengalir dengan sendirinya. Jadi uang dari puisi harus saya kembalikan lagi pada puisi.