Browse » Home »
karya ,
karya sastra ,
karya tulis ,
Mohamad Chandra Irfan ,
naskah ,
penyair ,
puisi ,
sajak ,
sastra ,
seniman ,
teater ,
tulisan
» Sajak Mohamad Chandra Irfan
Sajak Mohamad Chandra Irfan
SYAIR
kenapa peristiwa-peristiwa lama
mengekalkan luka, tanpa ada sekarat
di daun jendela
yang mulai rapuh
selendang angin pun
menghadiahkan dirimu
tapi selalu luka
jemari ini mesti tuntas
meriwayatkanmu, bahwa
sangatlah biru parasmu
sangatlah dingin kau
di jantung ini
aku tahu bahwa esok
kau tak akan datang
dengan setangkai gerbera
tapi bermalam-malam telah kutitipkan
pada seluruh purnama, segumpal sesal ini
yang berabad-abad berkarat
kau tahu
bahwa esok malam aku akan datang
membawa setangkai gerbera yang lain
tanpa ada sekarat
2012
PEREMPUAN BERSAYAP MATAHARI
sebab tubuhmu
yang selalu merampas kesabaranku
akhirnya tak bisa kubedakan
mana putih
dan mana ajal
sebab tubuhmu
adalah sayap matahari
sayap bagi setiap cahaya
yang mengepak di setiap puisi
yang tak mungkin bisa
kubedakan mana catatan hari-hariku
dan mana kematian paling suci
bagi sebuah pagi
dan burung-burung
tapi apa
yang selalu tersisa di matamu?
yang selalu memberi isyarat lain
sehingga sisa usiaku seperti dejavu
seperti roman yang ingin sekali kutuliskan
tentang perjumpaan kita
yang singkat itu
katamu, dengan dada gemetar
aku paham akan tubuhmu, tapi
ini malam sebentar lagi berakhir
dan sebentar lagi, tak bisa kubedakan
mana ajal dan mana putih tubuhmu
2012
KETIADAAN
akankah kita menyimpan
senja berikutnya?
sepanjang langit marun
segala tentang matamu, raib
di layon maghrib
2012
PEREMPUAN MERAH MA'WA
tak bisa kurelakan
bahkan pada siapa pun
sebab pada kelopaknya
bibirmu menjelma merah ma'wa
jika saja taman ini milikku
maka engkau tak mungkin terlahir
dari sisa awan
dan hari-hari yang berat
maka aku pun menyebutnya:
engkaulah sajak pertama
di langit yang licin
di tangan tuhan
yang tak terbaca
kau
bibirmu
kesedihanmu
seperti kasta yang tersisa
di kematian yang terlambat
memberat
sesekali pucat
menuliskan hikayat
di langit yang licin
kau, bibirmu, kesedihanmu
seakan berhenti meneruskan
kesedihan yang lain
di tangan tuhan
yang tak terbaca
2012
TARIANMU YANG TAK PERNAH KHATAM
- tak pernah
makrifat, di setiap
dada para abid
I
tarianmu
lebih erotis
dari perang darah
dan kita basah mendesah
tentang nyanyian barzah
senja di garis takdirNya
seakan itulah persetubuhan kita
49 jam lebih
memahami tarianmu
kuhabiskan salam
yang tak khatam
yang kini tersisa
dengan sedikit senja
di tarianmu itu
ada yang lebih afdol
dari persetubuhan kita
II
o, aku yang
memintamu abadi
seperti musim yang selalu
makrifat, di setiap dada
di garis takdirNya
di tarianmu yang tak pernah khatam
2012
BIOGRAFI SAWAH
sawah-sawah
tak menghijau
yang ada sisa igau
burung bangau
seperti abb
terbelah kukunya
basah, terlunta
di dadaku
ia menulisnya tentang
sungai hitam
tentang
tanggal-tanggal
panennya
dan kau mencipta
kampung tercinta
tanpa bahasa
dan kata-kata
semuanya kesedihan kentara
2013
PEMETIK HARPA
senarnya mulai menciut
tangannya berlapis kabut
di wajahnya ada angka 9 yang kusut
memuailah langit, beruban berjalan lamban
aku seperti suaranya yang memancar bulan
petikannya mengubah warna biru
menjadi tampak lebih kelabu
seperti tangannya yang melahirkan waktu
tubuh daun pun nampak tersenyum ibu
padahal orang-orang baru saja menggelar rindu
mendongengkan matanya yang palsu
maka jantungku menyepakati pada detik itu
kau datang dengan kenangan yang syarat rambu-rambu
esok aku akan datang menjelma tanganmu
dan kau hanya perlu tiga kali mengetuk palu
sebagai tanda, kita sama-sama akan berwudhu
2013
DAN ADIKKU MENGIGAU
waktu itu aku masih rajin
mengikuti sahur bersama
namun sekarang, hanya kenangan
yang kulihat. hanya itu!
setelah kini tiada
hanya gema dan suara
yang mengapung di dada
di tangan
di punggung jalan
aku mulai memahat ramadhan
mungkin dengan segala kesal
dan segala kebutuhan yang mahal
ah, ibu
pada suaramu yang syahdu
masih kuingat caramu memotong
bawang, menanak nasi, lalu
anakmu yang cikal menangis;
bu, aku ingin ibu yang menyuapi
nasinya!
03.00
setelah bulan jeda di atap
rumah kita yang sederhana
bapak pun; menggelar sajadah
mengguyurkan air wudhu
ke tiap juru rumah
begitulah caranya mencintai
rumah dan seisinya
sedangkan seseorang dan usia
senjanya, tergopoh -- adakah
ini ramadhan penghabisan?
lalu bapak dan ibu
hanya sibuk di dapur
di dapur
aku pun telanjang
seolah ibu menguliti kepalaku
dan bapak mengulek jantungku
dan adikku mengigau;
sesungguhnya, kita tengah
memersiapkan pengantar
kematian kita, masing-masing
tanpa dengan siapapun
2013
VARIASI PAGI
1.
Suatu pagi tepat setelah itu, ada langit membukakan matanya. Sebagai manusia yang kerap tak mengenal pagi hari – maka begitu samar kulepas kembali warna pagi sejak pertama kali dihadirkan untuk menikmatinya, sejak usia dini. Kabut tak lagi kembali, seolah berlalu membawa kekalutan abadi. Tuhan, aku telah bersuci! Tak heran, garis langit seakan tua, dan memungutut jejaknya. Ada yang diam dan tak mengenal usia. Sebab kita tak lebih iri jika secangkir kopi hanya melintas dalam hati.
2.
Di depan surau, tubuhku tepat simetris pada pohon mangga. Ada keseimbangan antara kata ya dan tidak. Telingaku menoleh ke kiri, seorang cleaning service sedang memungut mimpi anak-anaknya. Ia senantiasa setia dengan lidi – yang berwindu-windu memukulnya. Ah, di surau ini tubuhku kembali pada masa silam. Waktu adalah jam yang retak, ada keramaian; namun suara sepi lebih gaduh ketimbang suara knalpot motor para pegawai negeri.
3.
Gesekan demi gesekan sapu lidi itu semakin keras. Tenanglah pak! Tanganku karam ke dalam langkahmu. Pak, anggaplah jika pagi hari itu selalu misteri, maka sejak saat ini tak lagi seperti itu. Matahari mulai menerobos langit-langit surau. Aku tidak mempersilahkanmu datang dengan sekuning ini. Aku hanya menginginkan kau tetap datang dengan volume yang sama dan biasa.
4.
Ini hari ke sekian kalinya. Setelah lama tak bersua denganmu, kopi. Kopi yang mana? Bukankah semua orang sudah seperti kopi? Tidak, kataku! Manusia itu hanya dedak kopi, ia asing bagi dirinya sendiri. Tidak perlu matematis untuk menjatuhkan vonis seperti ini, cukup kau tahu: ini hari yang sial bagi para pertapa. Sebab sial, betul atau tidak kau hanya dedak kopi?.
5.
Seorang cleaning service itu tak lagi asyik meniduri mimpinya. Ada masa depan sedang menghantui anak-anaknya. Cekung-cembung obralanmu adalah isyarat lain dari lahirnya makhluk yang bernama pagi. Tapi ingat semuanya akan menjadi bias. Kembalilah pada jalan suci, sebelum kita sama-sama bersuci kembali!
2013
BISMILAHHIRROHMANIRROHIM
Kubuka semua yang segala maha. Di dalam kekhusyukan ini, ada semacam tanya yang selalu mengurai langit menjadi pertapa, hujan menjadi jumawa. Tentu seisi langit mengiriskan kabar pilu dari surat dan suaraNya yang fasih. Masih kukenang tentang segala macam teror, gelisah, yang tubuhnya senantiasa mewartakan kelaliman seorang yang durhaka. "Engkakukah itu?". Tanyaku.
Kemudian aku mulai berjalan dalam genangan teror dan gelisah itu. Nasib memihakku sebagai pengembara yang dusta. Dan kenapa hanya pada langitlah kepala ini bersembah. Bumi, tak ada yang dapat dirajah, selain pasrah yang kaffah. Pukul empat belas lebih tiga puluh dua menit, atau setengah tiga lebih dua menit. Ada sosok orang tua menghampiri.
Kuingat wajahnya, namun aku lupa garis uratnya. Tapi jelas sekali dari aksen bicaranya. Menyerupai Bapakku. Sebagian tulang iganya hampir menjulur ke ruas jalan. "Ini jembatanmu berjalan, Nak", ucapnya. Sambil matanya tak pernah berkedip. Kuat memang. Ia datang sebagai orang yang tepat. Tepat di saat orang-orang mengajarkan tentang kebohongannya.
"Kenapa mesti tulang igamu, Pak?. Aku takut terjadi sesuatu pada tubuhmu". "Tidak, ini hanya bentuk kangenku padamu, Nak. Sebab, kau harus berjalan pada lahan yang sempit. Yang hanya bisa dilalui oleh ibu jari". Aku masih bertanya dalam hati, jika memang itu Bapakku. Kenapa ia sendiri tidak pernah menjelaskan, kenapa ia datang tepat hari ini. Siapa yang memberinya alamat tempat tinggalku.
Terakhir dari perjumpaan itu, Bapak mengedipkan mata kirinya. Mata kanannya, ia simpan di sakunya. Dan aku pun berbisik pada daun telinganya yang penuh dengan obrolan-obrolan kasar dan ngeri. "Pulanglah, Pak. Ibu sedang menunggu di rumah". Titip bulu mataku buat Ibu. Kini anakmu, sedang dilumat habis oleh kesepian. Ibu pasti lebih tahu tentang arti sepi dan kesepian. Dan Ibu, selalu mengajari bagaimana sepi itu adalah lafadz dari: Bismilahhirrohmanirrohim.
2013
Mohamad Chandra Irfan, dengan nama asli Moh. Chandra Irfan Rosyadi. Sempat juga memakai nama pena ‘Mohamad Irfan Rosyadi’, ‘Buroq Argagurnita’ dan ‘Mohamad Chandra’. Lahir di Pagerageung, Tasikmalaya, Jawa Barat. 17 April 1993. Alumni Pondok Pesantren Perguruan KH. Zainal Musthafa Sukamanah, Singaparna. Beberapa puisinya dimuat di beberapa media massa. Terhimpun juga dalam beberapa antologi bersama, antara lain: “62 Penyair Jawa Barat Terkini” (Komunitas Malaikat, 2012), “Poetry-poetry from 120 Indonesian Poets: Diverse” (Shell Publishing. 2012), “Antologi Puisi Religi Ziarah Batin” (JavakarsaMedia, Yogyakarta, 2013). Menulis puisi, esai, dan menjadi aktor teater. Mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Jurusan Seni Teater.
Label:
karya,
karya sastra,
karya tulis,
Mohamad Chandra Irfan,
naskah,
penyair,
puisi,
sajak,
sastra,
seniman,
teater,
tulisan