PEREMPUAN GILA DI UJUNG SENJA
Aku ingin
pulang. Senja sudah menunggu. Aku tidak ingin membuatnya terlalu lama larut
dalam penantian. Aku ingin melepasnya pergi, tapi tidak bisa membiarkan
rengkuhannya lepas. Dia tahu semua tentangku. Kami sama-sama menanti di ujung
hari. Bedanya, dia menanti sesuatu yang pasti. Sedangkan aku, kupikir semua
orang akan menertawakanku jika mereka tahu, aku sedang menanti kemustahilan
yang selalu kusemogakan. Aku ingin pulang. Duduk sendiri di balkon kamar,
sambil menghitung burung perkutuk yang terbang berlarian. Atau sekadar berdiam
diri di sana. Membiarkan tubuhku terbuai dalam rengkuhan kemustahilan itu.
Mereka pikir aku gila. Padahal, aku hanya sedang bermain-main dengan semua
kenangan itu. Tidakkah mereka bisa melihat siapa yang sedang duduk di samping
kananku? Adalah dia. Kemustahilan itu. Atau hanya aku yang melihatnya? Apa aku
memang gila? Entahlah. Biar kurenungkan lagi. Seharian aku dikurung dalam ruang
pengap. Mengenakan baju biru tanpa motif. Berteriak pada setiap dinding yang
menghalangi penglihatanku. Menangis ketika menyadari bahwa aku benar-benar
kesepian.
Ceritaku
masih panjang. Perempuan berseragam putih masuk ke dalam ruangan sambil membawa
sesuatu yang tajam menusuk kulitku setiap kali aku berteriak-teriak kencang.
Dia menyuntikkannya di leher, kadang juga di lengan kanan, kadang juga di
lengan kiri. Setelah itu semuanya terasa buram. Aku terdiam seperti orang bodoh
yang tidak tahu apa-apa. Perempuan itu selalu membuatku terkulai lemas. Itulah
mengapa aku sangat membencinya. Kadang ketika ia lengah, kutarik rambutnya yang
ikal, kadang juga kupukul punggungnya dengan tangan, atau pernah sekali ketika
itu aku mencakar wajahnya dengan kuku jariku yang tidak pernah lagi dipotong
hingga meninggalkan bekas. Aku mengenalinya dari bekas luka cakaran di pipi
kanannya. Seperti luka cakaran kucing. Tapi itu hasil cakaranku.
“Dasar
perempuan gila!” Ia melangkah pergi setelah urusannya denganku selesai. Itu
adalah kalimat yang selalu ia ucapkan ketika akan melangkah keluar. Aku bahkan
menghapalnya di luar kepala.
Semua
orang menganggapku gila! Tapi aku merasa tidak benar-benar gila. Aku mengenali
siapa saja yang pernah kukenal sebelumnya. Aku tidak pernah menganggap bahwa
boneka adalah seorang bayi yang harus digendong. Aku tidak pernah berupaya
melukai diriku sendiri dengan menggigit jari ataupun pergelangan tanganku
sendiri. Aku makan dengan tangan kananku. Menangis apabila aku benar-benar
merasa sedih. Aku tertawa untuk hal yang lucu, meskipun itu sangat jarang terjadi.
Aku melakukan semua yang dilakukan oleh orang-orang normal. Tapi mereka
menganggapku gila! Bagiku, musuh terbesarku adalah tembok ruangan yang
mengurungku, perempuan berseragam putih yang selalu membuatku terkulai lemas,
dan orang-orang yang membuatku berada di ruangan pengap ini. Mengingat mereka
kadang membuatku sulit untuk bernapas.
Aku
ingin pulang!
***
Aku
berhasil membuatnya hidup kembali. Dia hadir ketika aku menyadari bahwa aku
benar-benar kesepian. Dia hadir ketika aku memanggil namanya. Ketika perempuan
berseragam putih itu keluar dari ruangan.
Ketika aku sudah terkulai lemas karena perempuan itu. Ketika
tembok-tembok ruangan mengancam untuk membunuhku dengan rasa sepi. Kemustahilan
itu hadir ketika aku benar-benar tidak ingin sendiri.
“Kau
ingin pulang?”
“Iya.
Aku benci tempat ini”
“Kau
ingin ikut denganku ke tempat dimana kau bisa bebas dari tembok-tembok ini?”
“Bisakah
kau membawaku pulang?”
“Aku
hanya bisa membawamu pergi”
Dia
selalu mengatakan hal yang sama setiap harinya. Kau ingin pulang? Tapi entah
sudah berapa lama aku di sini. Dia masih diam di samping kananku, tidak
beranjak sedikitpun. Kupikir dia ingin membawaku pergi. Terkadang kami
kehilangan kata-kata. Jika sudah begitu mulutku akan terkatup, dan dia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Hanya terdengar siulan kecil yang memenuhi seisi
ruangan. Aku tidak pernah merasakan embusan napasnya.
“Kau
ingin pergi bersamaku?” Dia mulai menemukan jejak kata yang sempat hilang tadi.
“Ke
mana?”
“Kau
harus jadi sepertiku dulu agar bisa ke sana,” tandasnya lagi. Kalau sudah
begitu, mulutku kembali terkatup. Aku mungkin tidak segila itu.
“Bukankah
kau ingin pergi dari tempat ini?”
“Aku
hanya ingin pulang. Ke rumahku. Bukan ke rumahmu”
Keesokan
harinya, entah jam berapa aku tidak tahu. Perempuan berseragam putih itu masuk
ke ruanganku. Kali ini tidak membawa jarum suntik, tapi makanan. Ia
meletakkannya di hadapanku, kemudian setelah itu ia bergegas pergi. Kelihatan
buru-buru. Hingga ia lupa mengatakan kaliamat yang selalu ia ucapkan ketika
hendak keluar dari ruangan ini. ‘Dasar
perempuan gila!’
Makanan
itu menganggur di hadapanku. Selera makanku sudah hilang semenjak tembok-tembok
ini mengurungku. Mungkin sebentar lagi aku akan benar-benar gila seperti yang
selalu mereka katakan. Aku ini perempuan gila. Kalau sudah begitu, terkadang
juga aku menyesali semua kejadian yang sudah berlalu. Kalau bukan karena
kejadian setahun yang lalu, aku mungkin masih berada di balkon kamarku. Melihat
burung perkutuk saling berkejaran, atau mengucap selamat tinggal pada senja di
belakang rumah. Kenangan itu kembali berkejaran.
“Kau
di mana?”
“Di
rumah”
“Aku
ke sana”
Setelah
itu sambungan telpon terputus. Aku duduk di halaman belakang rumah. Sendiri. Hari
sudah sore. Langit mulai jingga kemerah-merahan.
“Kau
di sini,” dia yang kutunggu sudah datang. Laki-laki yang tadi menelponku. Aku
menunggunya mungkin sudah hampir setengah jam.
“Ada
apa?” Tanyaku. Mata coklatnya menatap tajam ke arahku. Aku mendapati sesuatu
yang ganjil di balik itu.
“Ada
sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Penting,” ucapnya. Kulihat jakunnya bergerak
ke bawah, kemudian ke atas.
“Selama
ini aku sudah salah karena tidak mengatakan semuanya dari awal. Harusnya aku
tidak mengenalmu terlalu jauh, dan tidak membiarkanmu memelihara perasaan ini.
Maafkan aku. Aku mungkin memiliki perasaan yang sama, tapi perasaanku terhadap
ibuku jauh lebih besar,” ucapnya tanpa jeda. Kemudian berhenti sebentar untuk
menarik napas panjang. Dia belum menyelesaikan kalimatnya. Sesuatu yang aneh
mulai terasa di dadaku.
“Dia
memintaku menikahi Jessy,” lanjutnya. “Itu berarti kita sudah cukup sampai di
sini.”
Mendengar
itu aku merasakan sesuatu bergejolak di dalam sini. Entah di mana tepatnya. Aku
memalingkan wajahku darinya. Pikiranku langsung kacau. Entah ingin marah,
menangis, atau pergi saja. Tapi belum selesai aku beragumen dengan perasaanku
sendiri, kudengar suaranya yang khas. Laki-laki beraroma maskulin itu menyentuh
bahuku. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
“Maafkan
aku,” ucapnya, kemudian melangkah pergi. Aku melihat punggungnya menghilang di
balik pintu.
Setelah
itu, dia bukan lagi milikku. Dia milik ibunya. Dan ibunya menyerahkannya kepada
Jessy. Perempuan yang selalu menguntit kemana saja aku dan dia pergi. Penguntit
itu akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan. David. Tapi hanya sebentar,
mungkin beberapa menit saja. Setelah itu ia pergi untuk selama-lamanya.
Laki-laki beraroma maskulin itu pergi setelah memberikan rasa sakit padaku. Sebuah
tabrakan mobil tidak jauh dari rumahku mengubah skenario hidupku selanjutnya.
Semenjak itu aku merasa tidak punya dunia. Rasanya lebih sakit dibanding ketika
ia mengatakan kata pisah. Dan sekarang, giliranku untuk mengatakan kata pisah, ‘Selamat tinggal, David’
Karena
kejadian itu aku ada di sini. Ruangan pengap yang mengurungku. Tembok-tembok
kokoh yang selalu mengancam untuk membunuhku dengan rasa sepi. Dan dia,
laki-laki yang sedang duduk di sampingku, hanya aku yang bisa melihatnya. Dia
adalah kemustahilan itu. Yang menyebabkan semua ini. Tapi bodohnya, justru aku
menghadirkannya di ruangan pengap ini. Aku menghidupkannya lewat imajinasi.
Pintu
kembali terbuka. Perempuan berseragam putih itu masuk bersama dengan seorang
wanita paruh baya. Aku mengenali wajahnya.
“Kenapa
dia masuh dikurung di sini?” Tanyanya kepada perempuan berseragam putih itu.
“Karena
dia terlalu bahaya jika dibiarkan bergabung dengan pasien lainnya,” jawab
perempuan berseragam putih itu dengan tatapanya yang dingin mengarah kepadaku.
Aku tidak terima ditatap seperti itu.
Aku
segera bangkit dari tempatku, lalu tanpa memberinya kesempatan untuk memberi
perlawanan, aku langsung menjambak rambutnya. Dia berusaha melawan, tapi
tenagaku jauh lebih kuat. Dia sedang tidak membawa alat suntik, jadi aku bisa
selamat. Dia tidak bisa membuatku merasa lemas sekarang. Wanita baruh baya itu
berusaha melerai. Aku tidak mempedulikannya. Rasa sakit hatiku yang sudah
terlalu dalam padanya membuatku menjadi seperti orang gila. Menjambak rambut
perempuan berseragam putih itu tanpa memberinya ampun, meskipun ia sudah
menjerit-jerit kesakitan.
“Sandra,
sudah, nak! Sudah!” Perempuan paruh baya itu kembali mencoba untuk melerai.
“Ibu
tidak suka kamu seperti ini!” Lanjutnya lagi dengan intonasi suara yang tinggi.
Aku tersentak, lalu perlahan-lahan melepaskan perempuan berseragam putih itu.
Rambutnya terlihat berantakan sekarang.
“Perempuan
ini pantas mendapatkannya,” aku menunjuk ke arah perempuan berseragam putih
dengan tatapan tajam.
“Dia
adalah penguntit itu, ibu,” lanjutku. Amarahku rasanya sudah sampai di
ubun-ubun. Ibu terlihat kaget.
“Apa
maksudmu?”
“Kau
perempuan penguntit yang selalu mengikuti ke mana saja aku dan David pergi. Kau
yang membujuk ibunya David agar meninggalkan aku. Kau juga yang sudah
menyebabkan aku ada di sini. Sebenarnya kau yang gila! Bukan aku!”
Perempuan
berseragam putih itu menatap tajam ke arahku. Aku bisa melihat amarahnya
meluap-luap di balik sorot matanya. Aku bersiap-siap memberikan bekas luka di
wajahnya untuk yang kedua kalinya. Tanganku sudah membentuk sarung tinju. Tapi
ibu segera menahannya. Dia memegang tanganku, lalu memelukku erat. Dia
menyalurkan kehangatannya.
“David
sudah meninggal, Sandra,” ucap ibu lembut di telingaku.
“Aku
tahu, ibu. Aku tidak gila!”
Kemudian
sosok laki-laki itu muncul dari balik punggung perempuan berseragam putih. Ia
tersenyum ke arahku, lalu melambaikan tangan. Kemudian ia melangkah keluar dari
ruangan. Setelah itu, aku melihat sosoknya tiba-tiba menghilang. Aku berhenti berimajinasi
tentang dia.
Setelah
kejadian itu ibu membawaku pulang dari rumah sakit jiwa. Aku akhirnya
meninggalkan ruangan pengap. Sore ini, aku duduk sendiri di halaman belakang
rumah. Menatap senja yang memancarkan warna jingga di langit. Aku akhirnya pulang!
***