Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Retno Iswandari

Let me sing, my day, la la la la la...

19 Desember 2008 jam 10:13

[ i ]

Aku ingin ditelpon berjam-jam, tapi kau tak punya nomerku. Atau kirimkan surat berlembar-lembar, tapi belum pernah aku tinggalkan alamatku. Berkunjunglah di saat-saat yang mungkin, berkunjunglah ke dalam khayal yang masih mungkin. Tak ada lagi kesempatan meskipun kita pencuri, oh hari-hari yang malang. Tak ada lagi yang bisa kubanggakan selain keriangan saat sendiri. Monyet-monyet menari dalam mimpiku. Tidak pernah tidak aku mimpi buruk setiap kali tidur pagi. Guling kesayangan itu menjelma tangan, meremas-remas jariku sampai nyaris remuk. Bantal, kasur, dan rasa kantuk menjadi ruang dan waktu penyiksaan paling sempurna. Aku merasa terancam. Aku merasa terancam oleh sesuatu yang sulit kukendalikan. Sesuatu yang membuatku geram karena tak berdaya membedakan mimpi dan bukan. Aku ingin bangun seandainya itu mimpi tapi gagal berkali-kali. Aku enggan mengantuk lagi tapi dia merenggutku berkali-kali. Dia gila, atau aku yang gila? Berkunjunglah, berkunjunglah di saat-saat yang mungkin. Berkunjunglah ke dalam khayal yang masih mungkin.


[ii]
Ibu menelponku, aku berhasil bangun dan mendapati degup utuh jantungku, meski dengan kepala porak-poranda. Ia memintaku memanaskan daging yang hampir basi. Aku lega, tapi mana mungkin memanaskan daging tiap hari? Aku berpikir untuk menyalakan alarm saja. Tapi ia tidak lebih dari bunyi nyaring sebuah lulabi. Aku ingin ditelpon berjam-jam, tapi kau tak punya nomerku.

Ah aku ingin dan aku tapi!

Sebaiknya kau mengenalku lebih awal. Atau aku dilahirkan lebih awal lima tahun. Apa yang akan terjadi? Apa dengan begitu kau punya nomer dan alamatku? Menambah sejarah kasih tak sampai yang sekarang berubah jadi lucu? Tapi, ah, aku tidak ingin kita dikutuk jadi fiksi! “Hidup ini nyata, sayang, tidak mungkin untuk sedramatik film atau novel”, begitu nasehat seseorang. Aku sendiri bingung, sayang, apa yang kuinginkan. Karena selalu saja, aku ingin dan aku tapi. Ayo menyanyi saja, la la la la la…

[ii]
Aku bosan kuliah, itu bukan cerita baru. Paper-paper yang itu-itu. Kami seperti anak domba yang sengaja tersesat. Coba ada Mr.John Keating yang belum dikutuk jadi fiksi. Bagiku Robbin Williams tampan, garis wajah romantis dan humoris. Aku tidak suka Brad Pitt, Tom Cruise, atau Leonardo Dicaprio. Tapi bagaimana pun kuliah membuatku gemas. Tulang-tulang membeku di kelas. Paper-paper kutip sana kutip sini, jika tidak begitu “Dari mana Anda berpendapat seperti itu?”. Oh, mungkin dosen-dosen takut kami berubah jadi penulis fiksi. Tapi kuliahku pun kadang-kadang “semi-fiksi”. Percayakah bahwa saat kebosanan memuncak, sesekali kulihat tokoh kita melambai-lambai tangan di jendela? Melet-melet dan menarik-narik matanya? Dia berdandan menor seperti badut ingin menghiburku. Aku tertawa, aku cinta sekali pada jendela. Jika dosen sudah mendehem dan aku harus melupakan tokoh kita, aku merasa lapar dan perlu menjadi anak baik. Kuajukan pertanyaan banyak-banyak untuk mengganjal perut. Teman-teman bosan pada pertanyaanku dan berbicara sendiri-sendiri. Oh…, la la la la la…


[iv]
Aku ingat Celine, perempuan dinamis dalam Before Sunrise dan Before Sunset. Dia manis sekali mirip vokalis The Corrs, aku lebih suka dia daripada si seksi Belluci atau Maria Marcedes itu. Celine pintar, bugar sebagai perempuan. Tentu saja aku ingat bagaimana Jesse Amerika itu terlihat begitu bodoh jika bersamanya. Celine bilang masa bodoh dengan feminisme yang cuma proyek lelaki untuk meniduri perempuan, hahaha, aku suka sekali semua kelakarnya. Dia pemarah tapi sekaligus tukang ketawa. Tahukah kau, my day, bahwa dulu aku sangat mencemburuinya? Dia bisa hidup sedemikian dinamis, tak ada yang mengaturnya kecuali ayah di masa lalu. Ia seperti burung belia yang terbang kian kemari. Dia punya tubuhnya, dia punya jiwanya, dia punya pikirannya. La la la la la, seluruh dia ada di tangannya. Masa bodoh pada tangan-tangan aturan yang tak perlu, pada kebiasaan yang itu-itu. Dia sadar betul sebagai manusia, bukan sekadar perempuan atau laki-laki. Manusia, sayang, manusia.

Ingatkah saat dia menghadapi seorang pskiater? Ya, dia sengaja menulis sebuah cerita bahwa dia akan membunuh pacarnya. Pskiater itu gagap, latah, dan langsung menelpon polisi. Hahaha, aku suka sekali pada cara ia mengolok-olok konsep Freud.Oh Celine, pada akhirnya kau menyanyi dengan sangat mengesankan: “Let me sing you a waltz… Out of nowhere, out of my thoughts… Let me sing you a waltz… About this one night stand…..”


[ v ]
I have no idea today, ini kadang terjadi. Biarlah, saat-saat seperti ini membuatku berinisiatif ngobrol (atau monolog?) denganmu, sayangku. Menjual diri padamu (atau kamu germonya?). Kangen sekali pada pohon cemara di depan sekolah. Dan jembatan penghubung lantai dua itu, di sanalah aku sering berdiri berlama-lama demi melihat anak-anak burung mengitari cemara. Sekolah tua, ia tak pernah tergantikan dalam hidup. Tidak banyak yang membuatku kecewa di sana, seperti kini sering kuomelkan di kampus. Sekolah tua, aku ingin ia tetap menjadi tua. Sebab ia kakek yang hilang dalam hidupku. Sesekali di jembatan itu, aku terhubung dengan segala yang kumau, segala yang lahir dari ketenangan ruang dan waktu. Hingga tiba-tiba mulutku bergumam: cemara menderai sampai jauh… Ya, Chairil Anwar adalah lelaki yang sangat mungkin untuk tidak jatuh cinta padaku. Dan aku harus susah payah belajar merayu meski tidak betul-betul cinta. Dia mengingatkanku pada tokoh kita. Hanya, dia menjuluki dirinya sebagai jalang, kata lain dari gelandang. Ah, Foucault, kapan kamu jadi merasukiku? Agenda berkunjung ke jalan-jalan tokoh kita harus segera kita upayakan. Jika tidak, gelisah ini menjadi geram. Nanti aku stress lagi, nanti aku menyalahkan waktu lagi, nanti aku minta belas kasihan pada keremajaanku lagi. Ah, sayang, aku sedih jika sehari-hari harus menyanyi, la la la la la…

By. Retno Iswandari



Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC