Tasikmalaya,
JIKA diminta membicarakan persoalan Tasikmalaya, saya tidak bisa melepaskan diri untuk tidak menyinggung dangdut. Bukan semata-mata karena Rhoma Irama, Caca Handika, Evie Tamala, Itje Tresnawati, Cucu Cahyati, Vetty Vera, Sona Orama atau Alam berasal dari Tasikmalaya. Bukan pula semata-mata karena dangdut di Tasikmalaya mempunyai sejarah panjang Bukan juga semata-mata karena umumnya masyarakat Tasikmalaya, mulai dari pengemis sampai pengusaha, mulai dari tukang kopi sampai bupati, sama-sama maniak dangdut. Mungkin bukan kebetulan jika Bupati Tasikmalaya yang menggemari dangdut (apalagi yang berkumis) biasanya mampu bertahan lebih dari satu periode, sedangkan yang kurang apresiasinya terhadap dangdut (apalagi yang tidak berkumis) entah kenapa jarang terpilih lagi. Dalam pengamatan saya, dangdut bagi masyarakat Tasikmalaya bukan hanya mendarah-daging, namun tanpa di sadari sudah menjadi semacam ideologi.Tentu banyak orang akan keberatan atau bahkan kebakaran jenggot dengan generalisasi ini. Keberatan karena tidak mau di kategorikan sebagai penggemar musik yang sering di anggap kampungan atau bisa jadi karena merasa religius hingga menilai dangdut identik dengan maksiat. Semua tentu boleh-boleh saja. Namun, jika kita mau mengamati lebih jeli, dengan sangat mudah akan menemukan bukti bahwa perilaku atau kecenderungan umum masyarakat Tasikmalaya –apa pun lapisan sosialnya– ternyata sangat dangdut. Sebagai salah satu jenis musik populer, dangdut mempunyai karakter tersendiri. Musik yang dikenal sangat egaliter ini lahir dari beragam budaya: Dangdut mungkin sebuah paradoks. Musiknya yang mendayu-dayu, dengan hentakan gendang serta liukan suling bambu memang potensial untuk mengiringi sebuah tarian komunal, sebuah joget massal, sebuah ritual. Terbayang bagaimana para birokrat bersama relasi-relasi bisnisnya berkaraoke, baik di kolam-kolam pemancingan ikan maupun di kafe-kafe hotel berbintang. Sebagai manusia, tentu mereka memerlukan katarsis, membutuhkan semacam pencerahan dengan bernyanyi dan berjoget. Terbayang juga bagaimana panggung-panggung kampanye yang dimeriahkan para penyanyi seksi, yang menjadi ironis dengan pidato penuh busa dan janji dari para politisi. Lebih dari sekadar paradoks, dangdut memang mengandung parodi dan bahkan tragedi, yang membuat tawa dan tangis menjadi tidak jelas lagi batasannya. Seperti halnya di kota-kota lain, di Tasikmalaya juga terdapat sejumlah kafe yang biasa menggelar dangdut secara live, baik yang berlokasi di hotel maupun tempat-tempat khusus. Pengunjungnya dari berbagai lapisan, termasuk aparat keamanan, biasa melepas penat dengan berjoget. Di samping itu banyak juga warung (sebagian menamakan diri kafe juga) yang selalu memutar lagu-lagu dangdut. Berulang-ulang tempat-tempat seperti ini diobrak-abrik sekolompok orang yang berjubah putih, berulang-ulang pula terjadi keributan antara sesama aparat. Sejumlah kafe atau warung terpaksa tutup karena merasa terancam, namun tak lama kemudian buka lagi seperti biasa. Apa pun yang terjadi, dangdut tetap saja digemari, termasuk oleh mereka yang berjubah putih itu. Penyanyi-penyanyi baru terus lahir, baik lewat lomba-lomba yang digelar radio swasta maupun pentas organ tunggal yang merajalela sampai ke desa-desa. Banyak orang tua yang bermimpi mengubah kondisi ekonomi dengan berharap secara berlebihan pada anak-anaknya yang berbakat nyanyi. Banyak ibu-ibu (terutama dari kalangan menengah) yang menyalurkan hasrat terpendamnya dengan mengikuti latihan aerobik di sanggar-sanggar senam, di mana dangdut menjadi pengiring utama setiap latihan. Di sanggar-sanggar inilah, tanpa sungkan mereka berlatih gerakan-gerakan yang biasa diperagakan Inul Daratista dan Anissa Bahar. Sementara kalangan bawah berlatih gerakan-gerakan yang sama pada senam massal setiap minggu pagi, yang pesertanya bisa sampai ratusan orang. Tasikmalaya juga sama paradoksnya dengan dangdut. Selain dikenal sebagai lumbung penyanyi, pemasok tukang kiridit ke berbagai penjuru tanah air, penghasil kerajinan mendong dan bordir, juga dikenal orang sebagai gudangnya pesantren. Pesantren-pesantren ternama umumnya berada di daerah pinggiran atau pedalaman. Adapun yang berada di lingkungan kota masih bisa dihitung jari, itu pun kebanyakan pesantren baru. Setelah reformasi, banyak politisi dari partai-partai Islam yang bermimpi ingin menerapkan syariat Islam di Tasikmalaya. Mereka melempar wacana dengan memasang spanduk-spanduk yang di antaranya mengampanyekan "Tasikmalaya Kota Santri", di samping pernyataan perang terhadap segala macam bentuk kemaksiatan. Saya termasuk yang mengkritisi ulah para politisi berkedok agama itu. Pertama, karena saya menilai wacana yang mereka lemparkan bukan untuk kepentingan santri atau pesantren, paling hanya kepentingan jangka pendek partainya sendiri. Kedua, pesantren-pesantren besar di Tasikmalaya sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan dan mereka tidak ada urusan dengan pelabelan atau gelar atau sebutan semacam itu. Semua orang sudah tahu bahwa di wilayah ini terdapat ratusan pesantren dan puluhan ribu santri yang tersebar di desa-desa. Dengan pelabelan seperti itu seolah-olah santri merupakan "barang baru" yang perlu ditawarkan atau diiklankan. Ketiga, mereka lupa bahwa penghuni utama kota Tasikmalaya, terutama yang menguasai jalur-jalur perekonomian umumnya keturunan Cina, yang jelas tidak bisa dikategorikan santri. Semangat menerapkan syariat Islam dari para politisi ini ternyata hanya euforia, wacana yang mereka gulirkan tenggelam dengan sendirinya. Memang sempat ada perlawanan dari sekelompok masyarakat yang mencoba meluruskan persoalan, namun tanpa disadari wacana tersebut justru dikubur oleh perilaku mereka sendiri. Andai saja benar-benar jadi dilaksanakan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jalannya roda pemerintahan karena sebagian besar birokratnya (juga wakil-wakil rakyatnya) bertangan buntung. Bukankah dalam syariat Islam setiap orang yang mencuri tangannya harus dipotong? Tak bisa dimungkiri korupsi terus berlangsung di "kota santri" ini meskipun sedikit sekali koruptornya yang diadili. Kalaupun ada wacana yang sempat terwujud dari euforia ini, paling hanya keharusan pegawai negeri memakai baju koko setiap hari Jumat. Para birokrat dan wakil rakyat menganggap baju koko sebagai busana Muslim yang sudah selayaknya dibuatkan peraturan mengenai pemakaiannya. Namun, lagi-lagi mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa yang namanya baju koko berasal dari kebudayaan Cina, seperti yang biasa kita saksikan pada film-film kungfu. Ketika saya iseng-iseng mengingatkan hal itu, barulah alasannya direvisi. Kini bukan lagi atas nama syariat Islam, tapi demi memajukan kerajinan bordir. Alasan yang terakhir ini menurut saya jauh lebih masuk akal. Tidak lama setelah masa euforia, koran-koran memberitakan bahwa peredaran miras dan narkoba di "kota santri" konon tertinggi di Jawa Barat, setelah Bandung tentunya. Begitu juga yang terjangkit HIV/AIDS angkanya benar-benar di luar dugaan. Sementara demam togel terus merebak ke mana-mana. Ironisnya, ketika mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah MTQ Jawa Barat, kontingen "kota santri" ini hanya menempati urutan ke-17, jauh di bawah daerah-daerah lain yang dianggap "abangan" seperti Bekasi, Karawang, Subang, atau Indramayu. Saya tidak terlalu heran jika wacana mengenai penerapan syariat Islam dan "kota santri" kini tidak kedengaran lagi. Meskipun begitu, toh masyarakat tetap melaksanakan syariat yang memang sudah menjadi kewajibannya sehari-hari. Pesantren-pesantren tetap melakukan aktivitas pengajian seperti biasa, santri-santri dari berbagai daerah tetap berdatangan untuk mondok di Tasikmalaya. Kegiatan dakwah tetap berlangsung. Begitu juga dangdut tetap digemari. "Tasikmalaya Kota Santri" akhirnya tidak jadi dideklarasikan, apalagi sampai diperdakan. Begitu juga wacana penerapan syariat Islam seperti dilupakan begitu saja. Para birokrat, wakil rakyat dan politisi dari partai mana pun nampaknya lebih sibuk mengurus dan memperjuangkan dirinya masing-masing. Mengamankan posisinya masing-masing. Sementara para aktivis LSM yang tadinya sangat diharapkan bisa bersikap kritis malah berlomba-lomba merapat pada kekuasaan. Seperti halnya karakter dangdut, perilaku para aktivis juga ternyata sangat paradoks. Mereka berteriak seolah membela kepentingan rakyat, padahal sebenarnya sedang meniti karier. Siapa tahu kelak menjadi ketua KPU.*** Penulis, budayawan tinggal di Singaparna, Tasikmalaya. |
Browse » Home » » Artikel