Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Sajak D. Dudu A.R

Sajak Parlente Muna

Oleh : D. Dudu A. R.

Seperti biasa aku duduk di sudut horizontal yang mengarahkanku ke jendela berkaca embun
Memandang kabut berselimut kalut melukis birumu yang semakin redup dihembus debu kemunafikan
Bersama kepulan tembakau yang semakin menyesakkan dada, sedikit meredam jemawa hati untuk mengutarakan kata-kata yang tak pantas.

Angin menelusup ke jantung lewat tirai yang sudah lapuk karena sikapmu yang kalang kabut. Sudah barang tentu, kesal selalu mengerutkan kening bila engkau bercengkrama tentang kebenaran yang hanya ditulis lewat polemik berkepanjangan.

Batukku menanah, setiap menyimak kelu bibirmu berdalih, "Aku berbuat untukmu yang tidak berdaya".
Carikcarik janji yang membentuk prasasti penguasa perlente menyeringai ke aku disetiap merengek.
Tak perlu kau katakan lagi, karena seribu tahun aku hidup berarti melanjutkan episode sajak telenovele kamuflasse yang dilakoni pemeran itu-itu melulu.
Basi, bila aku mencicipi secangkir kopi sandiwara di layar siluet mukamu yang memiliki berratus cadangan.

Begini saja, aku tutup jendelaku yang masih temaram, atau kau yang mengganti tenungku tentang kepastian. Tanpa ada transaksi yang saling menguntungkan, beranikah kau tinggalkan keglamouran, seperti aku yang sekarat di sudut angkuhmu yang semakin menampakkan kegetiran.

Tasikmalaya, 22 Februari 2010

***

Jangan Risau

Tengah hari, ketika matahari angkuh merengkuh tubuh
Awan berkhianat kepada langit, seraya meneriaki bumi
yang tergopoh tanpa kawan penyangga badan; rapuh.
Aku terlanjur kuyup di panas hari, demi kamu yang bersemayam
di tengah gelisah
di himpit ruang
dan segah angan
Wahai perindu
aku guyur tunggumu
dengan pengorbanan.

Setengah malam datang
engkau pun terngiang rayuan
percumbuan di Jum'at Agung
deras hilir keringat
terasa menciprat
ke firasatku

Aku tergugah
untuk membasuh muka
lalu kupersembahkan
kidung Tuhan di seperempat bulan
meskipun berupa semburat
semoga engkau terbenam
dalam tenang

Kutulis semata untukmu
yang merintih di buaian dekap
dariku yang merupa kelangkang pelukan

Tasikmalaya, 25 April 2010

***

Gerayangi Sepi

Oleh : D. Dudu A. R.

Malam ini, masuk ke jendela sendu
Aku lebur bersama bayu
Lelapkan rindu tanpa kamu
Terpaksa terapung di laut cumbu

Bukan tak mau menemui
Bukan pula menebar janji
Tunggu di empat belas hari
Kan kubawa bunga berseri

Sungguh aku terkapar
Tanpa ratu asa di malam binar
Semoga sedia kala
Menunggu di pelataran sederhana

Seperti yang telah lalu
Engkau kujamah sampai ke ulu
Di atas tembikar hati menari-nari
Membuncah sasmita birahi suci

Akan aku ganti ketika bertemu nanti.


Tasikmalaya, 19 Februari 2010

***

Malam Iqomat

Oleh : D. Dudu A. R.


Belikat terikat kawat kejora
rampakkan urat yang sekarat
sesaat gairah menuju imsak
memantik diskusi ke arah kiblat
aku masih nikmat
bersenda petuah dengan sahabat
: merajut kata bersama malaikat.

Aku gantung shubuh di kantung labirin
melawan arus semilir batin, mengarat di pengap dinding
biarkan lelah memilin raga yang semakin remah
daripada meinggalkan resah di jiwa yang semakin merekah
:sementara sobat telah kiamat
bersamaan serunai iqomat Ahmat

Katup makin kalut merenda mata yang kian akut
aku gagap, namun tak ingin disendat
atas kesetiaan kepada malam yang mengantarkanku
ke selasar surau dengan alas pualam pukau

Bercumbu denganmu, mahal harganya
Betapa tidak, sedasawarsa aku berkhianat
kepadamu sang maklumat Tuhan

Menikmatimu laksana pembunuh nafsu
Mendekapmu merekat penopang rindu

Ajarkan aku setia, kepada bintang timur
agar keserakahanku kepada waktu
menjadi wewangian yang terpintal menur

: aku lebur di debur telagaMu.

Tasikmalaya, 28 Mei 2010

***

Terawang Bulan ke Mawar Lamunan
-buat NFL

Seperti biasa, malam menjemputku ke sambit rencana

tanpa perasaan berbunga, kudesah nafas agak gelisah

betapa tidak, juwita di utara sedang menampani panah

rindu yang kulesatkan ke jantung menanah


Magrib mencoba menyirib hati yang sedang sulit

hingga kusejajarkan muka di alas tanah legit

berulang kali kucium bau basah menjamah

selepas rinai langit mencumbu rona merahnya


Sekelebat kilat memagari langit hingga mata memendar semburat

selirselir malam mencoba mengabari setengah sadar pertapaan kelam

bahwa sekejap serindai bayu menawari rempah sebagai pengobat lara

: seorang ratu nun jauh di sana menyalami serimpung sepi di daun jiwa


Aku resapi lirih yang menelusup ke gendang lembab

aku hayati tarik ulur geliatmu di desir terawang

siapakah engkau, yang datang tibatiba menyapa?

sementara kekasihku menunggu setia di kejora


Dosalah aku bila menyepimu

sombonglah aku bila hening menjadi sahabatmu

ya, aku balas salammu dengan serumpun tanya

ya, aku masih menyeringai seperti serigala

karena, aku takut engkau serupa duri di tangkai mawar


Lalu, bibirmu bersasmita hingga hatiku jatuh ke putik pujapuja

tapi, aku tidak lekas tergoda atas jabatan pujianmu

kepada frasefrase yang kutebarkan di sempurna bulan,

membentuk makna hingga kau pun jatuh cinta kepada pahatan

kataku yang terukir megah di pualam relungmu.


Seperti biasa, malam menjemputku ke sambit rencana

tanpa perasaan berbunga, kudesah nafas agak gelisah

betapa tidak, juwita di utara sedang menampani panah

rindu yang kulesatkan ke jantung menanah


Magrib mencoba menyirib hati yang sedang sulit

hingga kusejajarkan muka di alas tanah legit

berulang kali kucium bau basah menjamah

selepas rinai langit mencumbu rona merahnya


Kutenun kembali purnama selepas melukis limbungku

Betapa tidak, nafasku, kau, dan dia memilin bulan bertubi-tubi

Entah, rahasia apa yang disembunyikan tafsir untuk kutela’ah

Tak mungkin sebentar aku gelar tembikar jawaban di selasarnya.


Kau menjadi buih seribu malam

Aku menyisir di tepi temaram

Kau menjadi kabut setiap kalut

Aku embun di daun katup

Antara aku dan kau menjadi mekar rindu

Yang ditunggutunggu di musim sembilu

Semerbak apakah yang diinginkan?

Tak ada satu pun wangi siliri hati

: Aku tiada untukmu sebagai kekasihnya

***

“Give Me One Reason”, Tracy Chapman
: Kidung Blues buat Palestine dan Mavi Marmara
Karya : D. Dudu A. R.


Kepada Tuan Zion 1

Apa yang hendak kau semburatkan dari lampion?

Kukuh berratus tahun ngungun merenda bara di api ungun

Memaksa diri menjadi tuhan Matahari di satu negeri


Tak pernah takut melenggang ke tanah berpadang rumput

Tak pernah aus menjulang obsesi merebut genggaman absurd

Tak pernah lupus menyuplai tubuh demi bangsa yang kalang kabut

: angkuh jiwamu sebatu dengan leluhurleluhurmu yang jemawa


Kau berpesta pora menenggak rum darah jelata

Meracau, membabi buta, menebarkan peluru dan bazoka

Di tanah yang sedari dulu diperebutkan oleh kemunafikanmu

: bayibayi, anakanak, remajaremaja, dan tua renta dibantai

Seperti serakan sampah di jalanjalan beraspal tak berdosa


Kepada Tuan Zion 2


O, laknat!

Kau memang umat para nabi paling munafik

Padahal sebuluh dengan manusiamanusia mulia

Lagumu memang selibut, membangkang tak pernah padam

Kepada wahyu yang diusung para aulia Tuhan


O, laknat!


Kau memang musuh nazi yang layak diseret ke parit

Sampai dikubur bersama dendam yang paling kejam

: buncah Hitler atas kesenjangan kemewahan Yahudi


Bukankah diisyaratkan bahwa kamu tak ‘kan pernah memiliki tanah nabi?

Sepanjang bumi ini tegak berdiri di tonggak takdir yang terus mengebiri


Kepada Tuan Zion 3


Adalah kecongkakan tersirat disetiap nafasmu menghirup hidup

Memutar balikkan kenyataan di setiap poros maklumat Ilahi

Tentu, biadabmu saat ini adalah rimbun kejayaan yang sesaat

Tengok saja para pionirmu di masa perang Ahzab, dihukum mati!


Hatimu memang tak memiliki mata, hingga buta memandang damai

Balitabalita Palestine kau pasung kepalanya

Ibuibu mereka kau penggal rahimnya

Lalu, kau tusuk dengan pisau bedilmu, diarak ke sekeliling raya

: kau adalah generasi dajjal paling setia


Kepada Tuan Zion 4


Bercengkrama, mengumpat, menghujat, lalu menghinamu

bukanlah perlawanan arbitrer seperti kau menyembilu nadi militermiliter syuhada

Pedih mereka hari ini, bukanlah jawaban sepanjang hasratmu mendirikan negeri

Pedih mereka hari ini, adalah sangga yang menahanmu di keabadian Jahanam

Ya, karena engkau jelmaan syaitan.

Merenda kelambu disetiap mlam berkawan, kau bercumbu dengan selibut

Yang tak beralasan. Mempersiapkan senjata mutakhir sebagai pesta pembantaian

Esok hari.

Keresahanmu adalah kidung umat Muhammad menggema di seluruh jagat

Ya, karena kau ciut menganga ketika jidatjidat muslimin muslimat legam

Melecut kuasa di tanah suci manusiamanusia Ilahi. Betapa tidak, kerumun jiwa berani mati

Menyimpul tali pemicu bom waktu yang meneror psycho pemusnah umat sepertimu

: resah saban hari, karena jiwa kuat ajaran keselamatan Muhammad tak pernah mati


Kepada Tuan Zion 5


Layar televisi, saban waktu menenun nanar, disuguhi kabar gelimang darah para syuhada

O, Palestin, semerbak tanahmu selepas hujan adalah kedamaian di tenung harapan

Selalu diperebutkan hingga abad menjadi sahabat setiap saat. Tak pernah ada kata sejenak untuk rehat dari perdebatan senjata, bertubitubi menembus tubuh umat yang lelah, lalu gamang

Atas kemerdekaan yang seharusnya tersematkan

Lagi, warta pagi tak bosan mengabari semilir angin, sepoi melindap ke batin

Namun sesaat merajam ulu atas kebiadaban ituitu melulu

Mavi Marmara, pembawa pesan damai relawanrelawan dari setiap arah mata angin

Meluncur dari heli, menelusup ke palka, lalu, pelurumu merembes ke asa

Para mujahid tak bersenjata. Kau melibihi binatang belantara, mencabikcabik kesetiakawanan

Atas nama kemanusiaan. Bagimu, hak asasi adalah anekdot dalam setiap guyon binalmu

Tentu lucu untuk kau tertawakan sepanjang padang kebiadaban yang terpampang

Disetiap baligo kebobrokan jiwajiwa munafik yang hidup di lengkung jalan tanah orang

: kau bantai juga atas nama kecurigaan yang kepalang nanar

Tasikmalaya, 31 Mei 2010

***

SAJAK DUA BUNGKUS NASI KUNING
-buat Nero Taopik Abdillah
Karya : D. Dudu A. R.


Malam 1


Seperti biasa meskipun tak sering, Handphone berdering

Isyaratkan semilir pertemuan hening, terangkai di pesan singkat

: O, kawan lama yang masih setia dengan pengembaraan

Yang selalu dijawab entah berujung dimana.

“Blues uing di Kostan Ridwan, ayeuna ditungguan!”1


Kalimat tidak asing kadang menyungging akhir pekan

Saat kelanaku meruncing ke kota laut utara untuk menemui

Gubuk sebelum delta. Langit sedikit menyeringai sombong, kala gairahku

Memuncak untuk merenda rencana bersama urang culamega2

: hujan lebat menampar paras sedikit panas

Demi batin yang dipintal selama lima tahun pasca sarjana

Aku rela, sekedar menyalami sosok yang sebenarnya memiliki

Tujuan berbeda.

: aku tiba

Pintu sebuah kostan, dulu sempat kujamah ketika menenun kampus dulu

Kesekian kali, kembali ke ruang yang tak asing menyayup kenangan

: gerungan motor Bebek Honda, adalah isyarat yang tak aneh di telinganya

“Hahaha, huhujanan sia!”3

Sebuah pengorbanan adalah canda di keakraban

Lembayung menukik ke palung malam,

Sayang, Semburat bulan diculik awan
 
Malam 2

Kau tumpahkan ribuan sajak yang sudah membumbung ke langit tujuh

Lalu, kau ceritakan sebuah ketulusan katakata yang dilukis para sepuh

Ya, aku tahu. Senda petuah tentang laut kata, tak bisa dimuncratkan sesaat saja

: kita menulis resah di dinding sunyi bercat biru, tapi tetap ngilu menyiratkan grafiti

di kamar malam yang semakin bisu

Aku sedikit terperangah, karena tenungmu tentang kembara gelisah

Tersirat di keriting kening, dihempas deburan ombak gulana di setiap lekuk paras berminyak

: tibatiba kau bernyanyi tentang bidadari yang sebetulnya tidak pernah berkhianat.

“Sudahlah! Aku bosan tentang kidung yang tidak pernah berujung tentang perempuan semburat bulan yang hampir lenyap”

Malam 3

Kau kutinggalkan, sementara bulir waktu hampir patah di pohon temu

Tapi rindumu kepada malam yang setia menyelimuti gundah, tak pernah pudar

: kau panggil aku yang tenang menela’ah kalam, selepas maghrib datang

Kemudian, menegaskan rayuan tentang kidung sajak malam yang masih diperdebatkan


Tak pernah padam, kelakuanmu yang hampir runyam, terselamatkan

Karena aku tenggelam ketika sajaksajakmu yang tak kumengerti

Kini senyawa dengan naluri yang sedang mengobarkan birahi imajinasi

: Kita menjadi sajak dan puisi, lalu bercumbu saban sabat ngungun

Perangai malam memagut rindu temaram kepada sedu sedan, hilang.

Malam 4

Dua bungkus nasi kuning menyumpal lapar

Kala nanar mengejang di lengkuas keheningan

antara aku dan kau. Ya, malam ini jiwa menjadi sunyi

Menelusup ke ruang puisi, kita menjadi katakata termaktub di setiap jelaga.

Kadang ribuan makna dipugar menjadi rangkai kata yang ngarai

Mengacak malam, semakin memucuk ke padang mawar

Melarung batin hingga mengurai rinai langit

Lalu, setia menjadi sahabat shubuh dan kejora ketika putik mekar

Memagari detikdetik malam terakhir, kemudian hanyut ke dalam mimpi

Tasikmalaya, 31 Mei 2010

*Seluruh kata dan kalimat yang ditandai, menggunakan Bahasa Sunda.
1) Blues, saya di Kostan Ridwan, ditunggu sekarang!
2) Orang Culamega (daerah Tasikmalaya Selatan)
3) Hahaha, kamu diguyur hujan?

Tasikmalaya, 31 Mei 2010

***

Di Pucuk Kelengangan

Karya : D. Dudu A. R.

Seruling mengalun ke relung
Melindapkan tafakur ke Hyang Agung
Syukur, di ombangambing hilir sungai kembara
Kau selalu ada
: aku bukan schizophrenia, kala Engkau menyiratkan fajar menawan
-sebagai kirana di setiap lekuk jalan yang gemulai

Lorong lengang , kususur tanpa lenggang
Meliukliuk seperti ular setan, aku tenang
Karena Engkau membawaku terbang
Menjulang ke tarian bayu yang menggebu
Selayak Aladin dengan permadaninya bercumbu

Lagi dan lagi, aku tembus ke palungMu yang dalam
Berkecipak seperti anakanak, jumpalitan ke dasar dan tenggelam

Hai, yang kurindukan disetiap peluh dan pilu
Aku tak ingin pulang seperti Nuh yang meninggalkan sandalnya
Meriakkan alasan agar menjadi penghuni, biarkanlah surgai aku!

Kesekian kali aku di pucukMu
Aku tak ingin jatuh ke ranting atau menggantung di dahan
Selamanya.

Tasikmalaya, 28 Mei 2010

***

SAJAK JURIT MALAM

Oleh: D. Dudu Abdul Rahman

Maqam 1

Lorong sempit, pekat, tubuh tak mampu berkelit

menelusup ke ruang pengap. Tenung hati telah membaca,

bahwa nisannisan adalah penghias mata

hanya tali rapia sebagai petunjuk kembara ke pucuk bukit Dewantara


Antara kaki dan hati tak pernah akur, hingga tujuan tak terukur

kepada arwaharwah di bawah, maaf, aku tak ingin sebenarnya

menginjak kuburkubur yang sudah jarang ditaburi melati adanya

malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana


Empat ranum wewangian kuendus, lalu kutebak rupa dirimu

di legam belantara jati menari bersama rinai sendu

bulu kuduk makin kejang, tat kala semerbak dupa bercampur melati

hampir menusuk sadar bersamaan detak jantung yang tak karuan

Maqam 2

Perjalanan tetap kutelusur, meski rapuh menggoda remah jiwa

ya, menyerah, tapi tak mungkin. Fase ini, yang paling membanting

melanting paruh waktu yang ditunggutunggu, sedari niat yang kadung kuat

terjal memang, hampir selalu mengalasi seluruh langkah, bukan karena itu

tapi, malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana

Gubuk kecil lementik di penjuru mata, diterangi setengah lilin memintal temaram

aku salami seisinya, lagi, hanya dupa bercampur sengat melati merembes

ke bulubulu hidungku yang hampir kumat. Wewangian yang biasa hadir di ritus

malam Jum’at kliwon adalah pengharum malam ini, sangat merajam di pucat paras jalan


Menatap keranda tergantung, dipilin tambang yang hampir lepas, aku tetap ke sana

mencoba salami ’entah’ gerangan siapa yang menjawab lugas. Gemuruh hati berkecamuk, ketika coretancoretan tapak jejak yang pernah lewat terlukis di tanah liat. Mata terbelalak, jiwa menyeruak betapa tidak, benturan keranda ke tanah berbatu adalah penjawab salam tadi.

Silir angin semakin semilir, rimbun daun semakin mengalun

Menyelaraskan degup yang bertempo pikuk.

Maqam 3

Serunai menyemai sawah yang lapang, menegaskan pemandangan sepanjang jalan

lalu berhenti, saat di semak terdapat isyarat, bahwa jejak ini baru menyiratkan

setengah pengembaraan. Sementara nafas yang tersisa sebotol oksigen, adalah bekal terakhir yang hampir migren. Sudahlah, gerundul hati yang sempat menyimpul keringat, tak usah diikat.

Menjelajah waktu terkadang merambah ulu untuk berhenti menggauli tujuh peluru

kesetiaan kepada ketenangan, tegaskan saja sebagai bekal yang tak pernah aus ditelan lupus, tak perlu gusar, tak ’kan pernah kesasar meskipun sejenak rebah di selasar bawah sadar. Ya, dimensi seperti ini terkadang membuat kesejatian hidup mendadak tak serasi, biarkan dilebur ilusi. Tak perlu dibawabawa ke nyata. Hidup hanya sekali, jadi jangan sekalikali terrayu silir bayu sesaat yang membawa ke buaian tak bertepi.

Maqam 4

Sebotol nafas tersisa, tak perlu dihabiskan di depan ukiran pintu terakota yang justeru bisa mengunci untuk keluar dari penjelajahan sekian lama. Sabarlah sedikit, agar langkah yang tertatih tidak merintih di puncak perjalanan. Duduk bersama biru lebam langit lebih baik, agar kawan malam yang setia, bila awan tidak menculik binar sempurna bulan, segera berteman.

Purnama datang ataupun tidak, jangan lekas lemas meremas akhir kembara

Manfaatkan sisa tenaga yang terbungkus rapi di palung jiwa. Di sini kita berakhir

Atau justeru kembali ke semula. Begitulah miniatur hidup dalam bukitbukit yang kubentuk sederhana di jendela yang menembus ke awal matahari menampakkan pijar di fajar.

Tasikmalaya, 10 MEI 2010

***

SAJAK RUMBAI MALAM BERDESAH

Karya : D. Dudu A. R.

Sebelum Isya kulalui, aku robek secarik gelisah

Kemudian kutulis hujam belatimu di lembar dadaku

Carut yang kau lukis di bilik hati

Merambah penyangga luka menganga di kemudian hari

Bagaimana tidak, ketika kuanyam malam dengan sembilu kalbu

Dan menjadi selaras perangai baiduri, ” Aku ingin menjamah hasrat di setiap pori keringat buncah mendesah”, pintaku.


--sontak , ludah pasi menyembur dari lidah binalmu

Sulamansulaman yang membentuk motif binar pun merupa marut

Dalam selimut cumbu rebah tubuh.

Kau jegal nafas yang menjalar di semilir angin pilu

Bukankah kau sudah kuijab di depan penghulu?

Dan pengabulan telapaktelapak surgamu juga telah menjadi halalku atas dirimu

Keringat didih di tungku bara matahari, menghilir di setiap pori

Menuju rupamu yang persis makara birahi. Takutkah kepada zaqqum

Yang melecut atas enggan (bantah) di hampir sempurna bulan kali ini?

Mentolo, kau gubah selaras malam merupa rinai keheningan di setiap sudut mata

Merintik di tanah liat hingga jiwa meleleh membentuk menhir di setiap temaram

Malam. Padahal telah kuhiasi kelambu merah dengan mawarmawar dari timur

Namun, kelopaknya mewujud terakota di pucukpucuk siluet angan malam

Aku lebur di kesenyapan

Aku menur di luka kenangan

Rampaklah jangkrikjangkrik mengejek dengan nyanyian sumbang

Aku dirajam kegamangan hingga membentuk relief hati sampai kini.

: Kau tolak rayuku di malam jum’at.


Tasikmalaya, 12-04-2010

***

Lejar Ke Telaga Gelisah

Di atas sampan yang tidak melaju sama sekali, kita menenggak secawan masa lalu, persis rinai langit berkecipak dengan sendu. Kemudian, kita mengayuh cerita, kadang berhenti di telaga, lalu labuhkan selibut hati ke limbung masing-masing, semata hanya untuk sepakati tanah pijakan terakhir kali adalah janji sehidup semati.
Sekali waktu aku berbincang denganmu di selasar redup. Engkau meracau seperti burung perkutut di pagi hari. Lalu, kau urai mata air sepi di setiap malam mencumbu temaram hingga remah. "Aku tak sanggup senyap di antara dinding basah, tanpamu", kemudian kau lenyap tanpa jejak.
Entah sebuah isyarat atau serupa bunga mimpi, kau mendadak bercumbu dengan malaikat. Dengan mesra mengecup semburat yang kadangkadang menyilau hingga aku pun lejar ke selasar sadar.
Apakah engkau tak percaya? Apakah engkau ragu? Atas semua janjijanji yang kusiratkan merupa bintang dan sempurna bulan di setiap malam. Mungkin, kau pun tak pernah merasa damai, ketika pelukku hangat di setiap kejora meyalamimu.
Ah, aku semakin meracau, tak bisa kendalikan birahi tanya. Janganlah engkau pergi, sebelum Dia mengutus Izroil yang patuh. Sebab, matahari ataupun purnama akan redup di taman hati, ketika sisa kembara tanpa semerbak melati setiap pagi, tak menghiasi kabut jua embun yang perawan di tubuh gelisah ini.
Tasikmalaya, 09 Juni 2010
***
 
Serambi Sajak

Dan, hening menghidangkan parasmu di pinggan lamunan

Sambil memangu tiadamu di selasar iga, kupangku dagu

Selama engkau bersolek di cermin mata. Lalu, kau berdendang

Bersama ketukan jari di pinggir irisan, terlanjur rindu memecah

Gelisah, agar engkau keluar, mendekap gigil yang gemulaian

Semakin lejar riak gelombang awan, bergumulgumul mengulum

Luruh berkepanjangan. Biarkan kubelah batas diseling sungai

Menjadi laut kedamaian yang sempat rimbun di ranting kegetiran

Selalu saja blangsak, ketika sajak kujadikan tampan temaram

Tasikmalaya, 11 Juni 2010

***

Sobat

Dari jauh kuterawang
engkau melepuh
sebab kerinduan
yang tak kunjung meneduh

Dari dekat kudekap engkau
selayak wanita idaman
yang selalu menjaga keperawanan
hati diantara ribuan lelaki

Meski ikatan pintal
merupa temali buluh nadi
tak melonggar hingga kita
menjadi utuh disetiap situasi

Kita berkeluh hingga peluh
Kita bercanda hingga riang

Aku dan engkau pun nyaman
ketika ranum mawar dunia
menjaga setiap lekuk kehidupan

Cinta, kasih sepanjang jalan
menelusur kembara disetiap angan
antara puncak dan samudera kegamangan
tak 'kan menjadi buih atau serupa ranting kematian

Lanskap Angan, 12 Juni 2010


***
 
D. Dudu A.R Berkarya Berawal dari selibut yang berkepanjangan, lalu menemukan ruang yang mapan (menulis); katarsis. Selain itu, suatu hari, saya mengomentari artikel Kang Saeful Badar "PENGAJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAH", dalam catatan Facebook (20 Oktober 2009). Dalam diskusi tersebut terjadi perdebatan yang meruncing kepada tanggung jawab guru terhadap perkekmbangan sastra di sekolah. Saya, sebagai guru Sekolah Dasar, merasa bersyukur setelah ikut diskusi dalam catatan tersebut. Betapa tidak, sastra membentuk seseorang lebih sensitif terhadap lingkungan. Meskipun melalui tulisan, sastra memberi kontribusi moral terhadap perilaku seseorang. Khususnya puisi, bagi saya memberi ruang yang luas kepada buncah jiwa. Seperti sebuah percumbuan, puisi memerlukan kemesraan antara si penyair dengan jiwanya sendiri. Berangkat dari kesenian musik (grup band, saya memiliki bekal menulis syair yang liris (lirik lagu)untuk mengembangkan tulisan menjadi lebih apik.

Syair memang bentuk puisi yang sering dipakai untuk penciptaan lagu semasa saya aktif ngeband. Salah satunya terdapat dalam Album Kompilasi "Born to Life" (2007). Namun, tidak menutup kemungkinan, tulisan saya juga masih banyak yang harus dikritisi untuk perkembangan penulisan puisi. Setelah membeli buku sastra, saya banyak menemukan hal yang harus diperbaiki dalam tulisan saya (sajak/puisi). Untuk itu, melalui blog ini, saya merasa memiliki kesempatan berguru kepada maestro Sastra Tasikmalaya. Terimakasih.

renung jiwa yang terpendam, tak ingin dirajam ketakutan. Aku hanya menikmati kedamaian dalam puisi keagungan

Karyanya: 9 puisi dan 1 cerpen setiap edisi sabtu di harian umum kabar cirebon beberapa karya yang pernah dimuat di harian umum kabar cirebon :bersemayam di temaram bunga matahari (2010), kesenyapan (2010), di tol ciperna (2010), sajak leksika (2010), di kota laut utara (2009), sajak jurit malam (2010), kau di puncak hujan 2 (2010)
Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC