Negeriku Negeri Para Penipu”, Aku Bilang Tidak!
Karya : D. Dudu AR
: Agustinus Abraham
Negeriku sedang layu
Tak 'kan mekar jika kebenaran disimpan di kelopak mawar saja
Maka, lejarkan ke langit sampai mati
Jangan terlalu berharap kepada mereka
yang bermuka perompak hedonisimian
Jangan arusi kelakuan matrealis bersama mereka
yang menjadikan tulang keropos bumi pertiwi
Jadilah kita sebagai batang
Jadilah kita sebagai ranting
Jadilah kita sebagai dahan
Jadilah kita sebagai daun
: pohon negeri yang pertiwi
Mari satukan hati, untuk bangkit kembali
ketimbang menyanyikan lagu atau bersyair
lirih yang merembes ke palung hati
Mari satukan jiwa, yang telah tersirat
seperti semangat sumpah pemuda
Dari penyajak ataupun penyair
bertubi-tubi larungkan kata yang tak pernah berakhir
lalu, kobarkan api yang mulai ngungun
lalu, buihkan ludah yang sudah lelah
Berbuat sesuatu, seperti relawan Mavi Marmara
untuk negeri ini, bukan pemuda yang suka menghujat di kata
butuh pengembara surga seperti mereka
agar tanah yang hampir musnah
kemudian menjadi sewaan para pribumi
suatu hari, mungkin terjadi
tak ‘kan karam di lautan Cyprus atau arctic
Wahai pemuda-pemudi seperti Abraham
janganlah, lalu berhenti berperilaku dalam kata
kita memang hidup seperti David dan Goliath
berjuang lalu mati selayak leluhur proklamasi
Agar Indonesia tidak aus ataupun terkenal dengan nama "PENIPU" saja
: hati, jiwa, tenaga, kelun seperti awan penghuni surga
Karena, wajib hukumnya kepada siapapun
memantik kebenaran ke langit atau samudera
jika jiwanya seperti Soedirman atau Pahlawan Revolusi
jika jiwanya seperti Gajah Mada, yang untuk Nusantara
dan Indonesia Raya
Tasikmalaya, 13 Juni 2010
***
di Kantin Rosella
-buat AE dan AH
#1
Secawan sajak kita tenggak
hingga lejarkan jiwa ke langit jingga
kemudian kita kupas berbagai metodologi
dan strategi, tentang revolusi yang belum lama meretas.
Dari sebatas tegur sapa yang serupa bulir mimpi
semasa melancong di serambi fatamorgana
keringat kita mewujud sesuap nasi ataupun kontribusi
karena takdir memantik segala selibut yang mengendap
di relung pengembara dewantara, memuara di kota laut utara,
lalu merenda benang sutera yang masih berserakan di pinggan rencana.
--dan sebatang puisi kita bakar hingga mengelun
bergumulgumul lalu membentuk gelembung
keselarasan terawang yang rumpang di awan tujuan.
Buih lamunan sempat sedakkan cerita
karena jalan berbeda untuk mengggapai bulan
merupa gelak binar tidak serasi di sempurna malam
ah, tak usah sunyi, yang penting menabur mawar
atau melati disetiap lajur ruang yang masih mengawang.
#2
Di meja persegi empat
berjejer botol sisa keringat
mengembun di beling gelora
meneteskan harapan untuk dijadikan telaga.
Kita lukis lengkunglengkung pikiran ke langit kejora
agar muara masingmasing tidak terlalu asing
ketika saat di lain waktu, tetap membawa sampan
yang kita kayuh selama menghilir ke lautan biru,
menuju ke muara, kemudian bertemu dan bercanda
ke samudera Ki Hajar Dewantara.
#3
Sebagai janji pintal intuisi
diantara ruang yang banjir muntahan angan
tanpa batas, menjadi lawatan paling memabukkan
selama pengembaraan. Bagaimana tidak, setiap liuk
kegamangan yang terkadang meremahkan ketegaran
menggelitik sukma yang panas dingin seperti pergantian musim
Serupa itu, mengingatkan perhelatan perundingan linggar jati
mendaulatkan negeri ini, atas kerja keras leluhur kita yang tulus
bela negara demi cucu cicitnya sebagai penerus bangsa
kita menjadi damai karena mereka
kita mennjadi merdeka karena mereka
lalu, apakah perbuatan kita setimpal dengan jiwanya?
Tak ada waktu lagi untuk hidup nikmat
sebelum Tuhan menyatakan kiamat
karena sejumput kerelaan serimpung ribuan generasi
akan menjunjung segala keterpurukan, yang kini sedang melanda negeri.
# 4
Bersamaan abu dan bara bergumul di asbak meja
perundingan kesepahaman tentang pergulatan kembara
yang diakhiri kidung magrib seorang mahasiswa
kita kibarkan menjadi panji kebangkitan kembali sefalsafah
pencetus sumpah pemuda. Karena, jelmaan pejuang yang wafat
selama penjajahan ”mati satu tumbuh seribu” adalah kita.
Tasikmalaya, 18 Juni 2010
***
Carik-carik Kembara
Karya : D. Dudu AR
Menggunting carik-carik tanya, lalu dijadikan sebuah peta untuk melucuti sebab engkau lenyap, semata-mata kugunakan sebagai petunjuk saja. Karena, jejak yang belum pernah kujamah di lanskap hatimu menjadikan kembara sebagai pilihan.
Sejenak ke ruang yang menaburkan kenangan, melepas rindu ke relung engkau. Semoga makna masih bersemayam, yang dulu sempat mengendap semasa kita sebagai malam dan bulan.
Jiwa lejar ke lengkung langit jelita seperti engkau. Sayang sekali, kelun siluet di rumpang malam indah adalah rupamu yang kurindu.
Terbiasa tumbuh-kembang di bumi sepi, menjadikan kembang seperti bunga gagap diantara rekah taman rindang. Lalu, senyap di antara langit dan tanah mayur, mendewasakan naluri selayak seniman sejati memagari hidup dengan intuisi. Sajaklah sejatinya!
Sementara, degung yang ditabuh para malaikatmalaikat kecil, menjadi suguhan pelataran keraton yang membawa rasa ke beberapa abad silam. Seperti di kerajaan, menjadi tamu istimewa yang sedianya menikmati hidangan bersahaja; larung di serambi penghibur kedamaian.
Tuhan, sebuah kepastian bahwa engkau mendengar rayuan hamba semacamku. Masa ini, Engkau beri teka-teki yang bisa dijawab dengan kesabaran. Aku hanya meminta, sebuah sampan yang menghilirkan tujuku ke muara pencarian. Itu saja.
Gigil mulai gerayangi mata, mengatup, lelah dan rebah. Bersamaan perangai malam yang terlalu indah, sejenak ke tebing tinggi, jatuhkan jiwa dari labirin goa raga ke arasy sebagai tempatnya.
Dan, masih di tempat yang sama, aku regangkan sisa sebotol nafas untuk kembali mengembara. Seperti biasa, menuju selasar keabadian yang masih kuraba.
Cirebon, 19 Juni 2010
***