ISTANA KOTA LAMA
- talu rebana, membahagiakan ziarahku
yang sebenarnya adalah puji-pujian
pada Daeng penghabisan dan cahaya
nisan berjanggut, dayang ilalang
lidah banyu, tak henti menepi
di jantungku, kau pun kutinggalkan
sketsa beluderu, kini hutanmu
dan sisa abjad, syariat para amir Luwu
di jantungku, kau pun kutinggalkan
tapi seolah-olah ada hayat…
oktober 1722
cintamu dan bahasa
dan matahari yang tumpah
sendiri mengecupmu
dan matahari yang tumpah
di Sungai Pertama
seusai perebutan tahta
ke manakah para wanita
ke manakah para darwis
yang pensilnya menangis
para empu dan biduan itu?
Daeng Kamboja
si anak bertahta, si anak kata
tak mewariskan hamba-hamba
ia adalah hakikat kota ini, ilalang ini
o, kota yang tak cerai dengan badai
ada saatnya Marewah, ada saatnya Celak
kini, hablur cahaya menggema di udara
o, kota yang menghibahkan diri pada ilalang
ada saatnya dayung dihampiri ombak bergulung
dan buih, bagai kata, kadang bersipat sementara
tiga abad yang bersahaja, berlalu sendiri
teringat carik pantai, kemilau dayang-dayang
di saat menghadiahkan tarian kepada belida
selendang angin, riang dalam nyanyian
seorang ratu, di bawah renda payung keemasan
disapa kata, menimbun pantun, sore pun biru
ada yang selalu bagai kiasan, di carik pantai
kerajaan dan kota yang berakhir di janin hutan
seperti masa idah perkawinan yang legam
dan hari binasa, di Sungai Pertama
di tahun 1722, di mana hikayat kata-kata
cinta pada tarian dan bunyi-bunyian
dan hari binasa, kini telah sampai
di mana langit dan laut, hanya berebut kata
di jantungku, kau pun kutinggalkan
Daeng Kamboja
dan kenapa hanya tembok berdaki
kenapa tanpa gapura, tanpa barak
tanpa almari jati dan harum permaisuri?
sore akan ditangisi, angin lalu bersujud
daun-daun, bagai altar bagi para penziarah
kotamu, tiga abad berlalu
dayang ilalang, jalan setapak
nisan berjanggut, dan selalu langit
bergelayut padam pada pohon tertua
pada seekor elang yang acapkali menyapa
bahwa hari, kadang ibarat biji cempoa
2010