Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Seni Marawis


MENELISIK SENI MARAWIS



Di antara perkembangan kesenian kasidah rebana dan nasyid, kesenian marawis mungkin belum begitu populer di Tasikmalaya. Kesenian ini kini mulai berkembang di kecamatan Manonjaya, Leuwisari dan Ciawi. Di Kota Tasikmalaya sendiri, kelompok marawis masih bisa dihitung dengan jari, di antara yang eksistensinya mulai muncul ke permukaan adalah kelompok marawis Cintapada, Kecamatan Cibeureum.

Bagi sekelompok anak muda, kaum santri sarungan di Mts dan MA Mathlaulkhair Cintapada, bermain marawis tidaklah sekedar memainkan alat musik. Marawis hadir dengan kreativitas baru yang berpadu dengan sentuhan kesenian lokal, baik dalam proses kreatifnya, maupun fungsi pementasannya.

Di Cintapada, sebuah konfigurasi tarian payung geulis bisa berpadu dengan alunan shalawat diiringi tabuhan marawis. Menurut pembina kelompok nasyid Cintapada, Iip Syamsul Borelak, kelompoknya juga pernah berkolaborasi dengan seni tradional beluk dari Sanggar Candralijaya, Cikeusal. Kolaborasi ini memenangkan Festival Seni Unggulan Wilayah IV Jabar tahun 2008 sebagai juara ke-3.

Kelompok yang berdiri tahun 2005 ini memang baru pentas di beberapa kota saja, di antaranya di Tasikmalaya, Ciamis, Garut dan Bandung. Jika tarian samroh yang identik dengan marawis diganti dengan tarian payung geulis, beberapa shalawat yang dilantunkan pun sebagian besar diambil dari puji-pujian dari kitab al-Barjanji. “Kami mencoba memberi sentuhan kesenian lokal khas Tasikmalaya pada kesenian marawis”, imbuh Iip.

Kelompok marawis Mathlaulkhair yang kini digawangi Akik dan Billah (vokal), Teja (kompang), Abdussukur (hajir), Anton (tamtam), Nurul Huda (cymbal/kecrek), serta Ihab, Otong, Acep Rouf dan Agus (marwas) ini, juga menjadikan marawis sebagai bentuk lain prosesi upacara adat pada wisuda ataupun perkawinan. Berkolaborasi dengan tarian payung geulis dan genjring marawis, pertujukannya juga dilengkapi dengan dua lengser, lengser Sunda (emang lengser) dan lengser sunan (uwa lengser) dengan pakaian jubah ala sunan.

Mungkin dengan cara seperti ini perlahan-lahan kesenian marawis mulai mendapat tempat di dalam dan diluar pesantren. Di antara tarik-menarik penafsiran atas seni musik di pesantren-pesantren salafiyah, marawis rupanya mulai dilirik sebagai salah satu kesenian yang positif untuk media ekspresi para santrinya.

Bagi Akik dan Teja, misalnya, bermain marawis merupakan kegemaran yang menyenangkan. Kerja keras dan latihan secara rutin setiap hari Jum’at dan Minggu merupakan semacam katarsis dari padatnya jadwal sekolah dan pesantren. Akik yang semula vokalis dorban dan Teja yang sebelumnya pemain nasyid menemukan kenyamanan dan dukungan pesantren yang positif terhadap kesenian marawis. Akik dan Teja berharap, di kemudian hari marawis bisa lebih berkembang tak hanya di Cintapada, tapi di pesantren-pesantren lainnya di Kota Tasikmalaya.

Berkembangnya kesenian marawis Cintapada ini tak lepas dari dukungan Kepala Madrasah Tsanawiyah Mathlaulkhoer, Hj. Imas Solihat, M.Pd. ”Selain mendapat dukungan moril, juga dukungan materil, seperti pengadaan properti, termasuk pengadaan kostum para pemainnya”, sambung Iip.

Kelompok Marawis Cintapada, berfoto sehabis acara Kemilau Nusantara 2008 di Lap. Gasibu Bandung.

Sejarah Perkembangan Marawis

Marawis adalah salah satu jenis musik perkusi dengan unsur religius yang kental. Dibawakan untuk mengiringi shalawat atau pujian kepada Allah dan Rosul, disertai tari-tarian sufistik.

Hingga kini belum ditemukan adanya penelitian ilmiah-historis ataupun data yang memadai untuk dijadikan rujukan kapan sebetulnya kesenian marawis ini berkembang dan siapa yang memeloporinya. Sumber-sumber yang bisa menjadi rujukan histori marawis baru terbatas pada sumber-sumber lisan. Konon marawis pertama kali dipopulerkan oleh para Habib (keturunan Rasulullah SAW) dan merupakan produk kebudayaan bangsa Arab.

Sumber lain menyatakan bahwa kesenian marawis pada mulanya ditemukan di Kuwait sekitar abad 16. Pada awalnya hanya terdiri dari 2 alat musik yaitu hajer dan marawis, semacam sebuah rebana dengan berukuran cukup besar yang kedua sisinya dilapisi oleh kulit binatang.

Namun kesenian ini kemudian lebih berkembang dan populer di Yaman, alat musiknya di modifikasi agar lebih menarik. Alat musik yang semula berukuran besar menjadi lebih kecil. Saat ini ukuran hajir lebih besar (sejenis gendang) dan marwas atau marawis ukurannya lebih kecil. Hajir berdiameter 45cm dengan tinggi 60-70cm, marawis atau marwas berdiameter 20cm dengan tinggi 19cm, dumbuk (sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, memiliki diameter yang berbeda pada kedua sisinya), serta dua potong kayu bulat berdiameter sepuluh sentimeter. Sebagian dilengkapi dengan tamborin atau krecek. Lagu-lagu yang berirama gambus atau padang pasir dinyanyikan sambil diiringi jenis pukulan tertentu

Sejarah masuknya marawis ke Indonesia, pertama kali dibawa oleh para ulama Hadramout (Yaman) yang berdakwah ke Indonesia dan dipentaskan pertama kali di Madura, sekitar tahun 1892. selain di Madura kesenian ini juga dibawa ke Bondowoso dan kesenian ini lebih popluer di kota Bondowoso.

Di Bondowosolah terjadi penambahan alat musik seruling, sehingga para penari yang ingin berzafin akan lebih menikmati gerakan yang di iringi alunan suara seruling (berdiamter 2,5 -3 cm dan panjang 35 cm, kedua sisi suling ini tidak ada penyumbat, dan lubang nada sendiri berjumlah 6).

Bisa dikatakan bahwa marawis pada awalnya merupakan inovasi cara berdakwah umat Islam denga pencapuran kebudayaan (akultirasi). Cara-cara berdakwah yang juga pernah diterapkan beberapa abad yang silam oleh wali songo sebagai penyebaran Islam di Jawa, seperti Sunan Bonang yang terkenal dengan Bonang-nya, Sunan Kalijaga dengan lagu ilir-ilirnya dan Sunan Ampel dengan lagu Tombo Ati-nya.

Seiring perkembangan zaman, kesenian marawis di beberapa daerah di Indonesia dikembangkan dan dilengkapi dengan menggunakan alat musik modern seperti gitar elekrik, organ , cymbal, drum, suling, dan lain-lain. Marawis plus alat-lat musik modern ini kemudian diistilahkan sebagai kesenian gambus.

Dalam katalog Pekan Musik Daerah, Dinas Kebudayaan DKI, 1997, pada marawis terdapat tiga jenis pukulan, yaitu zapin, sarah, dan zahefah. Pukulan zapin mengiringi lagu-lagu gembira pada saat pentas di panggung, seperti lagu berbalas pantun. Pukulan zapin adalah nada yang sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW (shalawat). Tempo zafin lebih lambat dan tidak terlalu menghentak, sehingga banyak juga digunakan dalam mengiringi lagu-lagu Melayu.

Pukulan sarah dipakai untuk mengarak pengantin. Sedangkan zahefah mengiringi lagu di majlis. Kedua pukulan itu lebih banyak digunakan untuk irama yang menghentak dan membangkitkan semangat. Dalam marawis juga dikenal istilah ngepang yang artinya berbalasan memukul dan ngangkat. Selain mengiringi acara hajatan seperti sunatan dan pesta perkawinan, marawis juga kerap dipentaskan dalam acara-acara seni-budaya Islam.

Seiiring perkembangannya, masuknya kesenian marawis ke Tasikmalaya menambah khazanah baru dalam syiar dakwah di Priangan Timur. Selain pukulan zapin, sarah dan zahefah, di Tasikmalaya dikenal juga pukulan bondowoso yang merupakan variasi pukulan khas asal daerah Bondowoso.

Penulis adalah santri & pemerhati seni
Aktivis Sanggar Sastra Tasik (SST)
dan Komunitas Azan
Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC