Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Sajak Beni F. Syarifudin


 Antara Rama, Sita, dan Rahwana

Sri Nalendra ajujuluk Rama ing Ayodya
Mila kinarya bubukaning carita
Jalaran nagri panjang punjung
Pasirwukir loh jinawi
Gemah ripah kerta raharja[1]

Nagari indah penuh bulan,
benderang di setiap sudut.
Pohonan rimbun, menghantar desir angin senja.
Air gemulai meliuk di setiap kelokan sungai,
selalu membawa perahu-perahuan anak kampung;
berlabuhan menghantar rumputan lalang.

Tak lupa, mentari yang memancar, selalu memberi hidup
ceritit pipit di pagi hari.
Hutan terawat lebat tempat berlindung marga satwa.
Pesawahan menghampar hijau.
Di musim panen; padi kian menguning
disambut senyum perawan-perawan kebayaan
di saung lisung tempat bermain gondang[2]
Nirwana, sebuah nirwana ketentraman bernama Ayodya.

Lengleng ramya nikang, sasangka kum, enyar mangrenge rumning puri
Mangkin tanpa siring,
haleb nikang umah,
mas lwir nurub ing langit.
Tekwan sarwa manik,
tawingnya sinawung sasat sekar sinuji
Ungwan Sita ywuna amren lalangen nwang nata Rama

Malam sedang mengembang.
Nagari itu geger.
Ayodya kemasukan maling.
Sita si permaisuri Rama hilang di telan lembayung;
tak satu orangpun tahu kemana Sita melayang.
Berita simpang siur mengambang,
tak paham arah mata angin.

 I
Rama:

Sita, jawablah, aku mencarimu dalam
Jejak hujan yang panjang[3]
Merayap dalam kesunyian malam.

Sita, dengarlah, bukankah aku akan selalu menjadi hujan;
Tegas dan rincik. Mendarat ke setiap pori-pori
Kulitmu; menyuburkan kering hatimu.

Sita! Siapa yang telah merobek bulan hatiku.
Siapa yang telah mencipta gemuruh ini
Siapa?

Akan kuangkat senja pada setiap sisa kabut
Dalam langkahku yang semakin merambat

Bayangmu selalu membekas di kabut itu
Bikin jiwaku sunyi bagai batu dasar kali!
“SENYAP”

II
Sita:

Rama, suamiku, kemarilah!
Di sini, hening, gelap dan lamban
Laki-laki sepuluh wajah itu
Mau menyekap tubuhku
Aku tak berdaya, cepatlah waktu semakin subuh

Dan

(Malam semakin tertikam dari setiap gerimis ke gerimis).
“SUNYI”

III
Rahwana:

Sita, tinggallah, di sini; dalam kamar ragaku
Berlama-lamalah, seperti mega yang selalu merayap
Pada malam.

Sita, yang secantik Bakung!
biar lara ini kupendam dalam dada
Meski belum kubenamkan raga ini pada tubuhmu yang sakral

Sita, selamat tinggal
Dalam tubuhku yang terpenggal
Masih kusimpan kisah kita walau sebentar

Bukankah yang sebentar itu, akan melukiskan kenangan?

Sita, yang secantik Bakung!
dalam Dibya[4] yang telah mencabut rasa ini
telah kutulis satu gelisah, “LEBUR!”

                                                2011

[1] Kutipan ini disebut dengan kakawen. Kakawen lebih dikenal sebagai nyanyian Ki Dalang pada waktu pergelaran wayang. Isi kakawen antara lain banyak mengisahkan tentang pergantian babak cerita, karakter tokoh wayang, kemarahan-kemarahan, kedatangan tamu dan kekuatan tokoh wayang dalam mengunggulkan dirinya, misalnya pada ajimat-ajimatnya atau kekuatan lainnya.
 [2] Bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi salah satu nama pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantik penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan.
 [3] Dikutip dari sajak “Lanskap”, karya Goenawan Mohamad
 [4] Senjata yang dipakai Rama untuk membunuh Rahwana


B. F. Syarifudin, lahir di Tasikmalaya, 16 November 1978. Aktif di FAS (Forum Alternatif Sastra) UIN  SGD Bandung. Puisi dan esainya pernah dimuat di beberapa media. Puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Metamorfosa” Komunitas Siraru 2003, ”Ziarah Kata” Majelis Sastra Bandung 2010, antologi puisi dan cerpen ”Bersama Gerimis” Majelis Sastra Bandung 2011.
No Kontak: 081573229131

Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC