Sebuah Foto Bertuliskan Sjahrirstraat
- untuk Sjahrir
Ada pohonan meranggas ke langit.
Di pinggir rumah tempat kau bejejak
Langit tembaga
Di atas jalan yang merambat
Setiap orang lewat selalu
Membaca plang jalan yang layu
Mereka tak mengenal siapa dirimu
“Pasti dia orang terkenal”, katanya
Gerimis semakin manis meniris
Angin tak bisa mencipta jembatan
Antara Leiden, Digoel dan Banda Neira
; Bulan masih tepekur
Di palupuh
Di sudut negeri yang sekarat tanpa rindu
2011
***
Tasikmalaya Dalam Biografi Singkat
-BQ
1997
Dalam biografi tanah
Diceritakan riwayat lempeng bata merah
Yang terpecah-pecah menjadi sketsa tak berfigura.
Aku serasa terbang bersama burung empitmu, kemudian menari
Di awan gemawan lalu hinggap diujung doran para petani.
Sama sepertimu, aku tidak menyukai pesta Bang. Pesta
Hanya cukup sekali saja. Bunyian kendang dan terompet biar saja pencak
Sendiri
1978
Bersama lengking adzan, aku mengenal cahaya. Guguran daun jambu sempat
Menggetarkan samping kebat yang bau anyir darah ibu.
Lalu iqamat, membawa bapak bersujud pada sejadah lusuh. “Barakallah!”, katanya.
Namun, tak sempat aku dimandikan oleh lempeng bata merah itu, juga membuat benteng berdinding lempung. Atau mengembalakan tangan ke setiap hutan-hutan.
2011
Jika kau datang ke kotaku hari ini. Ramalan itu benar. Aku terjepit oleh batuan Galunggung yang menjadi masjid-masjid, sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, gedung pemerintah, mini market-mini market, gedung kesenian bahkan kolam-kolam pancing. Buldozer-buldozer yang gemuruh selalu memangkas rambut gunung. Di kotaku udara semaki asin. Sengatan panas dari pembakaran gagang-gagang padi. Lelehan bebukitan. Suara gaduh truk pencuri pasir. Serta hawa mulut yang memancarkan api.
Jika kau datang ke kotaku hari ini. Di gigir senja yang semakin semu. Aku merasa saat terakhir itu terjadi, kini!
2011