Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Sajak Saiful Anam Assyaibani


PEREMPUAN TUA DAN NASI BORAN

di pinggir malam di bawah tiang-tiang lampu trotoar
perempuan tua dan nasi boran berjejar menunggu
bayangan tubuhnya sendiri
di simpang lima jalanan yang menikung
dalam sepincuk nasi yang menggelinding
dihempas angin dan tetes waktu

selembar sapu tangan menyesap basah
keringat dan sisa percakapan embun
yang berayun di rimbun pohonan

lantas pagi seperti senja
hanya dingin dan kelam
dalam diam
seperti raut wajahmu
seperti kampungku
yang hujan
memintal debu
mengentalkan
malam
di tubuhmu
yang rapuh

tapi rindu
seperti berbisik
tentang batas dan ujung
perjalanan
karena sisa usia
terlalu berat menahan
panggul-panggul
mimpi di pundakmu
dari dan ke pangkuan
lelap.

Lamongan, 2013

 
RAHASIA ASIN TUBUHMU

kau mengingatkanku pada alkitab
saat tuhan menghentikan matahari
dan bulan dan membaginya
dalam ke dua matamu

kau mengingatkanku pada maria
ketika isa lahir di kandang domba
sementara kau mengandung seekor domba
dalam rahimmu tanpa gereja
tanpa seorang bapa

karena itulah sebabnya aku mencintaimu
seperti nuh mencintai perahunya
dan aku melayari tubuhmu
seperti khidir melayari lautan
dan menyimpan rahasia asin tubuhmu
menjadi tawar

maka izinkan aku merobek bajumu
memungut seekor domba dari rahimmu
dan kelak akan aku ajarkan kepadanya
tabir mimpi yang manusia tak sanggup
menafsirkannya

karena aku mengingatmu
seperti aku mengingat kesucian
maka ingatlah cintaku padamu
seprti cintanya adam dan hawa
muhammad dan khadijah
dan cinta ali kepada fatimah
karena aku mencintaimu
seperti zulaikha mencintai
yusuf.

Lamongan, 2013


NUBUAT

sebelum aku menjadi abu
aku adalah amsal
kidung agung gereja
kemudian menjelma gema
dari sebuah lonceng
dari sebuah menara

di sini, tuhan disalibkan
dalam bayang-bayang
dari sisa senyala lilin
di malam yang kudus

sebelum aku menjadi abu
aku adalah bilik pengakuan
penyucian dosa
dalam sujud dalam tafakur
yang luka

maka menyayilah
seperti kembala di malam natal
saat menggiring domba-domba
di penghujung desember
yang mencatatkan jejak
kelahiran yang disucikan
waktu.

Lamongan, 25-12-2012


PERJALANAN DI ATAS BUKIT

aku mungkin ada di sana
di atas bukit
ketika matahari
berhenti
di atas kepalamu

sebuah perjalanan
terpaksa menjadi
rahasia kudus
tentang sebongkah kayu
yang menyeret ingatan
pada jejak-jejak
tanpa warna
di antara kelopak
bunga berduri

sementara langit senja
perlahan menyusut
mengemas keabadian
dalam riuh ramai
kesunyatan

ini perjamuan terakhir
mengulas sajak-sajak pertaubatan
dari tubuhmu yang telanjang
dan aku memasuki rumahmu
sebagai jasad yang lelah
dalam jiwa dahaga
paling purba

di bukit itu
ketika waktu terhenti
kesunyian hanyalah
bayang-bayang
dari jarak ketiadaan
yang terus mengejar
dirimu dari diriku
yang kosong

sementara
kematian hanyalah kesementaaraan
yang menuntun ke jalan pulang
sebuah kiblat

dan gerimis menghapus dahaga sajak-sajakku
menuntaskan takdirnya yang luka
saat aku berdiri di atas bukit
menyaksikan diriku sendiri
disalibkan dalam doa
air mata yang sekarat
dalam tubuhmu yang jasad
seperti seekor domba
yang kelak koyak
dikorbankan

aku akan pulang ke kampung halamanmu
dari perjalanan di atas bukit
dari tempatmu
yang tinggi.

Lamongan, 09 -05-2013


Cerita Pendek Tentang Membaca Cakrawala
Pada Suatu Adegan Pementasan Teater

fragmen /1/
“siapa merobek buku bersampul bulan
purnama berwarna ungu” seru sebuah kata
dari balik huruf yang belum selesai ditenun
menjadi pintalan larik-larik puisi
mata pena seperti menyimpan tetes
gurat airmata yang hitam
hanya ia enggan menggoreskan jerit luka
ketika bayang-bayang perjalanan
pada sebuah rak buku yang tergeletak
kumal dalam setumpuk debu

“cakrawala akan sulit dituliskan” bisik
sunyi dalam hati.

fragmen /2/
MASIH SAJA AKU PANDANGI BUKU
YANG BERSERAK DI MEJA BELAJAR
SAMBIL MENERAWANG
MENATAP HAMPA MASA DEPAN
YANG SEMAKIN GEMETAR
MESKI KUTEMUKAN SAMAR CINTA
YANG TERSEMBUNYI
DI BALIK ARAH MATAAIR

“kemana timba akan menggali
sumur” tiba-tiba dadaku bergemuruh
seperti ombak, tapi aku
seperti terkubur sendiri
di bawah timbunan sekian buku
yang tak sanggup ku baca
kata demi katanya
meski agama
sejarah
teknologi
eksakta
filsafat
bahasa
dan sastra
senantiasa membuka
dirinya yang menyala.

fragmen /3/
sementara di sudut cakrawala
aku membaca ratap tangis:
“tak adakah sutradara yang datang
dan berbaik hati mengubah adegan ini
menjadi sekedar dongeng saja”

di akhir kisah
aku hanya sanggup menutup
lembaran cerita yang telah kurobek sendiri
aku tahu naskah lakon ini adalah
pementasan teater dari kurikulum
yang belum jadi;
seperti sebuah puisi
ini.

Jakarta, 27 Maret 2013



DI PERSIMPANGAN PUISI


membaca puisi dalam diri
di dalam diri
angin-angin menusuk telinga
adalah persimpangan
yang meneriaki perhentian

batu-batu mengutukku menjadi beku
seperti ruh dengan segala sadap
segala sunyi yang lapar
sepanjang sungai

setelah peristiwa itu
sungai-sungai menulis wajahku
melepasku dalam puisi
seperti kelebat seekor burung
menawarkan beribu rindu
melintas hening persimpangan

adalah perjalanan meretas jarak
pada kesederhanaan kata-kata
dan tak sanggup menyeka air
mata pada detak hati

kepada kemurnian matahari
kutengadah sebongkah jiwa
seumpama ular yang mendesis
menyelinap dalam syurga
dan menawar sebutir apel
dalam rahasia
keabadian
dalam nafas syahadat
yang tak lagi setia.

Lamongan, 2014


Saiful Anam Assyaibani Lahir di Lamongan 12 Maret 1983. Aktivitas keseniannya berada dalam Teater Roda, Kostela dan La Rose. Karya-karyanya terpublikasikan di berbagai media pusat dan daerah, seperti; Indupati, Jawa Pos, Kompas, Tempo, Republika, Bali Pos, Surya, Mimbar, Surabaya Pos, Horison, Kidung, Kalam, Sagang, Bongang, Sidogiri, Buletin Pawon, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Haluan dll.

Beberapa karyanya juga terdokumentasi secara komunal tak kurang dari 25 Antologi. Bukunya yang telah terbit adalah Syahadat Sukma, Tamasya Langit, The Lamongan Soul, dan buku pengayaan The Art of Theater.

Sekarang tinggal di Jl. Diponegoro No. 20 Simo Sungelebak 16/V Karanggeneng (62254) Lamongan.
Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC