Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Cerpen Annisa Zahraa


LAGU KEMATIAN
(Annisa Zahraa)


Aku tidak suka lagu, apalagi lagu kematian yang mendengung-dengung seperti ribuan tawon. Tapi kali ini otakku terganggu, lagu itu menyusup melalui indraku, mengalir bersama darah, melalui pembuluh menjalar ke batang otak menuju neuron.

Entah sejak kapan, aku memiliki ketajaman indra seperti ini. Ya! Aku ingat, mungkin sejak aku berjalan di koridor rumah sakit itu. Malam itu, benar aku masih ingat, malam Jumat, dan aku berlari sendiri di koridor rumah sakit tepat pukul sebelas. Rumah sakit, hanya salah satu dari sekian tempat umum, fasilitas umum. Aku mengira di sini tidak akan sesepi kuburan. Aktivitas kampus yang tak henti-henti yang membuatku terpaksa mengunjungi rumah tempat para pesakitan ini terbaring, dengan selarut ini.

Koridor-koridor tampak sepi dan gelap, maklum rumah sakit milik pemerintah ini tengah dibangun, sisi-sisi koridor disekat oleh seng. Seng itu digantungi sebuah tulisan dengan huruf besar-besar “Sedang ada pembangunan, maaf menganggu kenyamanan Anda”. Setiap pagi sepulang menginap di sini, aku membaca tulisan itu dengan jelas. Tentu saja tidak ada ketakutan sama sekali sebelum lagu-lagu itu mulai berdengung.
Aku tak habis pikir, tetanggaku yang sakit ini orang kaya. Mengapa memilih rumah sakit umum? Mengapa tidak ke rumah sakit swasta yang lebih berkelas? Bukankah ini rumah sakit untuk kaum miskin saja?

Bisa maklum setelah pemerintah meluncurkan program penjaminan kesehatan lewat BPJS nya, orang kaya (baru) berbondong pula ke rumah sakit ini, untuk mendapat pelayanan gratis. Jadi jika sekarang tengah dilakukan pembangunan, wajar saja! Uang yang diraup pemerintah lewat program asuransi ini dikembangkan dalam pembangunan-pembangunan. Untuk mendapat kualitas yang lebih baik, memang rumah sakit milik orang miskin ini perlu dibangun agar tolietnya yang lebih busuk dari mulut naga bisa sewangi taman bunga.
“Mengapa tidak di rumah sakit T?” tanyaku iseng. “Pelayanan di sana lebih bagus.” Aku ingin mengatakan, ada beberapa rumah sakit lain di kota ini, katakanlah rumah sakit T, J, dan I.

“Uang kami habis,” jawabnya. “Bunda dirawat bukan untuk satu hari dua hari,” katanya pasrah. Ya mungkin ada lebih dari satu rumah sakit di kota ini, tapi semua hanya milik orang-orang berduit, yang bisa menyewa kamar dengan ratusan bahkan jutaan per hari. Orang miskin, pas-pasan, dan orang setengah kaya selalu tidak ada tempat di sana, penuh. Kamar termurah selalu penuh. Aku pun tahu, Bunda telah tergolek selama sepuluh hari di ranjang putihnya tanpa kesadaran penuh. Bisa dibayangkan berapa juta yang habis untuk sewa kamar ini? Untuk sebuah kamar Sukapura 2, VVIP, selama sepuluh hari, Bung! Orang kaya bahkan mendadak tak mampu, apalagi si miskin, tentu saja sekarat, mati saja sebelum membayar.

Mati, mati, mati, mati, mati....

Di koridor rumah sakit malam ini, aku nyata-nyata mendengar kejanggalan. Apakah ini nyata? Sayup kudengar seseorang menangis, semakin jauh dan hilang, timbul tenggelam kembali menangis. Apakah ini suara si miskin yang tak siap membayar esok pagi? Aku mempercepat langkahku, berlari dalam bunyi debum yang kuciptakan sendiri. Bukankah ini satu-satunya cara menghibur diri? Menciptakan keramaian dalam takut yang harus kumenangkan? Sebesar apapun usaha pengusiran ini, toh tetap ada secuil asa yang mesti dibenarkan, aku aku aku merasa tidak lagi sendirian, ada seseorang dibelakang. Ah, aku sungguh tidak berani menoleh. Takut jika tiba-tiba saja, hal yang tidak diinginkan terjadi. Saat lagu-lagu kematian terdengar. Tidak, mohon jangan terdengar di sini. Tidak!
Mati, mati, mati, mati….

Kamar yang kutuju masih jauh, harus melewati satu koridor lurus, lalu belok kiri, sampai diruang wasrey, dan belok kiri lagi, baru sampai. Baiklah, tarik nafas dan kendalikan pikiran, itu yang kuperintahkan! Aku berusaha memfokuskan diriku pada hal-hal yang bisa mengalihkan perhatian, sebanyak mungkin kubaca ayat-ayat yang bisa menenangkanku.

Mati, mati, mati…

Semakin jelas nyanyian bercampur tangisan itu, semakin dekat. Aku ingin-ingin-ingin berlari, sekecang-kencangnya. Sampai saat hasrat inginku begitu memuncak, aku tak bisa menggerakkan kedua kakiku. Kaku. Seseorang entah berwujud apa, menepuk pundakku, menyibak bulu kuduk, mendekat ke telinga, menyusup ke relungnya, lalu membisikkan tepat di gendangnya.

“Siapa kau?” teriakku memberanikan diri. “Pergi dan jangan ganggu hidupku.”

Dia, terkekeh, rupanya seorang perempuan.

“Siapa kau? Pergi!” bentakku.

Dia yang terkekeh kemudian sunyi terdiam. Apa pula ini? Aku merasakan dingin luar biasa pada kedua telingaku. Orang tua mengatakan rasa dingin ini terjadi jika sesuatu yang luar biasa berada di dekat kita. Apa pula ini? Aku masih berdiri tepat ditengah koridor saat lagi-lagi terdengar perempuan menangis tersedu, menyayat, mengucapkan nama-nama yang tak kukenal, lalu sumpah serapah pada pemerintah dan dendam kesumat.

“Siapa kau?” ulangku lebih tegar, tentu saja aku memenangkan pertarungan. Mungkin dia pasien yang sedang kesakitan dan menyebutkan nama-nama orang yang dicintainya. Ataukah dia siapa? Mengapa dia berani mengucap serapah pada pemerintah, mungkin dia seorang caleg gagal, atau politisi kekurangan modal? Lalu dendam kesumat itu ia tujukan pada siapa? Mengapa ia menghujat?

“Kau bedebah, kau…,” ucapnya keras sekali, lalu terkekeh, sebentar-sebentar diselingi tangisan. Aku? Aku melihat diriku, mengapa aku? Apakah “kau” yang dimaksud dia adalah aku. Mengapa? Dosa apa aku? Aku hanya seorang mahasiswa kere, yang menutupi luka kehidupan sehari-hari dengan cerita-cerita yang kukirim ke media-media, walau tanpa imbalan sama sekali. Mungkin media yang kukirimi cerita-cerita ini, sama kerenya!

“Cerita apalagi yang sedang kau rangkai? Kebohongan macam apalagi yang sedang kau hidangkan!” suatu hari seorang teman menginterogasiku keras. Aku jelas tidak berbohong, aku mendengar sebuah lagu kematian. Aku tidak dusta, aku mendengar. Indraku sudah tak normal, aku mendengar setiap hari, orang-orang mati dengan sengaja, orang-orang di bunuh, membunuh, saling bunuh, bahkan membunuh dirinya. Betapa murahnya sebuah nyawa? Sedang banyak rumah sakit sangat mahal harus dibayar untuk menyelamatkan satu nyawa. Mengapa tidak ditukar saja, yang bosan hidup bertukar nyawa dengan yang sedang berjuang untuk hidup?

“Aku tidak berbohong, aku mendengar lagu kematian, setiap hari.”

“Mana ada, aku tak mendengar!” sanggah temanku.

Malam ini adalah puncaknya, dikoridor ini, aku mendengar nyanyian itu, jelas dari mulut seorang perempuan, yang memanggilku bedebah. Seinci pun aku tak ijinkan dia memanggilku begitu. Aku mahasiswa yang sehari-hari menulis untuk menutup luka kehidupan, mengapa harus “bedebah”. Apa salahku? Apa karena aku menyebut media itu kere, rumah sakit ini kere, pemerintah juga kere, terus saja kuras keringat tukang becak?

“Aku bukan bedebah!” teriakku.

Mati, mati….

Suaraku mati, perempuan itu datang tepat di hadapanku. Menunjukkan dirinya, betapa terperanjatnya, dadaku berdebar. Perempuan itu tersenyum dalam kesedihan yang kuyakini, itu tak dapat disembunyikan. Orang yang aku kutengok, orang yang biasa aku temani malam-malamnya untuk menjaga cairan infus tidak habis masuk ke pembuluh ditangannya, orang itu.

“Bunda…” kataku tercekat. Tanpa bicara kita berjalan beriringan menuju kamarnya. Aku masih tak mengerti mengapa saat itu aku tak lagi mempersoalkan infus yang tiada menemaninya, mengapa dia begitu kuat sehat, dan bisa berjalan di tengah malam?

Hujan kecil masih turun, dingin, aku tak melihat langit cerah. Awan hitam bergumul, sebentar lagi pasti hujan semakin deras, pasti semakin deras. Aku telah sampai dipintu kamar sukapura 2, no kamar B. Kudengar tangisan dari dalam, tangisan siapa lagi ini. Siapa?
Mati.


Annisa Zahraa Hanya seorang yang sedang menjadi orang lain, lalu berusaha menemukan dirinya kembali. Dikumpulan jerami sawah yang basah, ia berteriak pada tulisan di UPI Tasikmalaya, sebagai mahasiswa yang biasa saja.
Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC