LORONG DOA
Cerpen: Saiful Anam Assyaibani
Cerpen: Saiful Anam Assyaibani
Senja nampak mengelam. Di ujung laut, matahari berada
pada batas air dan langit, seperti hari mulai redup langitpun redup dengan
segurat bianglala. Semacam lambaian sayup-sayup sebuah surau dengan panggilan syair
dan takbir melesatkan aku pada jejak menuju Tuhan.
Di sudut Kampung para Nelayan itu; sebuah mushollah
sederhana bersebelahan dengan laut serasa begitu tenang dalam dada. Suatu
kecintaan yang selalu mengalir sepanjang ujung sepanjang perjalanan.
Selepas mushollah aku kembali kepada laut; menyusuri
jejak dan langkah pada pasir putih, seperti perahu-perahu tertambat akan
dermaga akupun tertambat akan keindahan alam maha indah, konon Khidir pernah
mengujar hakikat rahasia kehidupan akan Musa lantas semayam di luas segala
samudra itu. Dan siapa ingin beroleh berkah laduni
maka harus ajeg dalam sholawat dan salam, wasila dan doa yang selalu lapar
untuk dipanjatkan.
Hari beranjak kelam-malam yang menggetarkan-gelap
yang selalu magis akan gulir waktu. Masih ada kehidupan dipenghujung malam.
Tanpa sadar aku mengenggam butiran pasir putih lantas
kutaburkan pada perjamuan angin dengan mata tertutup.
***
Rumah itu menghadap ke arah laut. Sepi sekali,
hanya beberapa kawanan anjing tampak berseliweran di halaman rumah itu. Mataku menangkapnya
lamat-lamat dari jarak yang tak begitu jauh. Selintas kemudian seorang
perempuan keluar dari rumah itu dengan selembar daun berjejar menampung makanan
bagi anjing-anjing yang lapar.
Sepertinya
hal itu sudah menjadi kebiasaannya, terlihat dari beberapa anjing yang lantas
mengikuti langkah perlahan perempuan itu di belakangnya. ‘persahabatan yang tak
lazim’. Gumamku. Tapi bagaimana mungkin aku tidak terusik akan romansa yang tak
biasa aku menemukannya. Mataku tak pernah lepas menangkap setiap desir
peristiwa yang bermain-main dalam akal dan anganku, aku coba mendekati mereka bahkan
sangat dekat, mencoba mencari jawab dalam celah-celah sepi.
“Selamat
malam” aku menyapanya seringan angin meniup malam yang menjadikan dingin.
Seperti perempuan itu hanya menemukan aku dalam desing suara saja, Dia terlihat
lebih menikmati memberi makan seekor anjing dengan menaruh makanan di tangannya
yang indah daripada memuliakan seorang tamu.
“Assalamu’alaikum” aku coba mengulang sapaku, tapi sedikitpun
perempuan itu seolah tak merasakan kehadiranku.
“Maaf, aku datang sebagai anjing yang berpijak
dikegelapan purna, dan aku mencari jejakku di bulan pada hijrah pada tubir
mi’raj menemu surga di dadamu” Tiba-tiba anjing-anjing itu melesat begitu saja,
menuju goa karang yang terkikis ombak; tempat mereka mengistirahkan jiwanya
pada malam. Dadaku berdegup kencang tapi tak kumengerti adanya.
“Biarkan hanya sunyi dalam keheningan jiwaku,
seperti denting doa tak kumengerti, sunyilah menandaskan detik air mata di
tetes waktu” perempuan itu menundukkan pandangannya dariku lantas meneteskan
airmata dalam doa. Entahlah peristiwa apa yang sedang terjadi di hadapanku ini,
aku tidak berani menebaknya.
“Sekalipun aku tak pernah menerima tamu laki-laki malam hari, pulanglah kembalilah besok pagi!”
“Sekalipun aku tak pernah menerima tamu laki-laki malam hari, pulanglah kembalilah besok pagi!”
“Maaf, aku tidak mengerti maksud anda”
“Akulah pelacur”
“Apa?!”
“Ya, akulah pelacur yang merindu surga”
Aku diam sesaat, mencoba menguasai badai dalam dada.
Aku tidak pernah menyangka bahwa perempuan yang ada di hadapanku sekarang
adalah perempuan sinting yang beberapa tahun lalu diasingkan oleh warga “Kampung
Nelayan” karena ketidakwarasannya. Seperti yang sering dibicarakan banyak warga
‘dia perempuan sinting yang ingin masuk surga dengan jalan pintas dengan berteman
anjing dan selalu berharap menjadi seorang pelacur’. Ah, aku semakin tidak
mengerti apa yang sebenarnya ada dalam benak perempuan itu; jika memang opini
warga itu benar adanya. Bukankah anjing dan pelacur adalah sama-sama mahluk
najis, lantas jalan pintas mana yang akan membawanya menuju surga. Atau memang
benar adanya bahwa perempuan ini memang benar-benar sinting. Tapi?.
“Apa yang merubahmu serta merta menjadi beku?”
sentak perempuan itu melumerkan anganku.
“Entahlah!” jawabku.
“Selain kedatanganmu malam ini sama sekali tidak aku
harapkan, tanpa kamu sadari kamu telah mengganjal langkahmu sendiri untuk
menuju surga”
“Sungguh aku tidak mengerti. Tapi apa yang telah aku
lakukan hingga aku harus tertatih menuju surga? Sementara kamu sedari tadi
hanya berteman anjing dan aku hendak bersilaturrahmi padamu, apa aku salah”.
“Tidakkah kamu pernah mendengar bahwa Rasulullah pernah
bersabda barang siapa yang memutus
harapan orang yang datang kepadamu maka Allah akan memutus harapannya pada hari
kiamat dan tidak akan masuk surga. Benar apa yang kamu ucapkan bahwa aku
sedari tadi hanya berteman anjing. Ya, anjing-anjing itulah yang datang ke
gubuk ini setiap malam dan berharap akulah satu-satunya orang yang mau
menyediakan makan bagi dia dan engkau tiba-tiba datang dan memutus harapan
anjing-anjing yang kelaparan itu di hadapanku”.
“Tapi dia hanya seekor anjing” sergahku
“Meskipun dia hanya seekor anjing. Bukankah Allah
tidak menciptakan suatu makhluk dengan kesiaan”
“Baiklah jika anjing adalah jalanmu menuju surga, sungguh
aku mintak maaf”
“Maaf untuk apa”
“Untuk diri sendiri yang datang tanpa rupa dan
bentuk, maaf untuk diri sendiri yang datang tanpa jelma tanpa cahaya dalam
ketakberjasadanmu; juga anjing yang meleburkanmu dalam tafsir hijabku, juga
maaf untuk keterjebakanku yang nian absurd menamaimu”
“Sampaikan maaf itu pada
lapis langit, jelmakan rintik hujan yang melebur segala kata yang membingkis
risalah magis kalbu, biar segala keheningan mengantarmu-mengantarku akan
surga”.
Perempuan itu lantas masuk
ke dalam rumahnya. Ah, mungkin rumah itu lebih pantas disebut gubuk karena
memang tidak pantas disebut rumah. Dan aku kembali menepi pada pantai.
Malam selaksa jauh
mengantarku akan suatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Embun serasa
menyusup pada sunyi secara pelahan, daun-daun menampung angin yang semakin risuk
meluruhkan waktu.
Waktu seakan demikian singkat, aku tak tidur
sedetikpun malam ini, tak terasa hari telah berganti sementara aku masih
terpaku berdiri di tepi laut sebagimana hari-hari kemarin, tapi hari ini serasa
lain. Aku selalu berpikir tentang apa yang aku alami malam ini, tentang kawanan
anjing dan perempuan yang mengaku pelacur itu, juga pertemuanku yang secara
tiba-tiba dengan mereka dan aku menamaiku sebagai anjing.
Dari kejauhan diam-diam aku selalu pandangi gubuk
itu. Ya, gubuk seorang perempuan yang saat ini masih bermain-main dalam
realitas pikiranku.
***
Hampir
setiap fajar aku berdiri di tepi
pantai menghadap ke arah timur menyongsong matahari terbit, menyongsong
keindahan yang menggetarkan batin. Aku kembali membuka hari dalam Bismillah dalam mata yang sejenak
terpejamkan akan taqdir perjalanan hari-hariku.
Fajar ini dalam sujud panjangku, aku seolah menandaskan keyakinanku bahwa
orang-orang yang berjiwa muthma’innah-lah
yang akan mendapat kemuliaan. Tapi sejak malam saat aku bertemu dengan perempuan
yang mengaku pelacur itu, seolah Ia talah mencuri sebagian ketenanganku dan
mungkin aku tidak akan pernah merasa tenang jika tak mengambilnya kembali dari
jiwa perempuan itu.
Matahari sepenggalah, burung-burung kembali
mengitari laut dan juga para nelayan mulai memaknai hari diteriknya cahaya
matahari di tengah derasnya gelombang. Ah, aku kembali teringat ucapan perempuan
itu ‘Sekalipun
aku tak pernah menerima tamu laki-laki malam hari, pulanglah kembalilah besok
pagi!’. Demi waktu aku pun telah
bersumpah akan menemukan kembali ketenangan hidupku seperti sebelum aku bertemu
dengan perempuan itu.
***
Aku kembali menatap lekat rumah yang selalu sepi itu,
berharap dapat menemukan kembali perempuan semalam. Aku menunggu hingga fajar
menjelang, tapi nihil.
Tujuh atau mungkin delapan ekor anjing tiba-tiba
menjelma di hadapanku, matanya nyalang seakan berharap sesuatu padaku namun
sulit untuk aku terjemahkan. Dalam hati aku berkata sendiri ‘andai akulah orang
yang diharapkan kawanan anjing itu maka apa pun yang tergurat dalam benaknya
aku akan berusaha mewujudkannya; semata-mata untuk tidak memutus
harapan akan keberadaannya di hadapaku
saat ini’.
Tiba-tiba kawanan anjing
itu lenyap ke dasar jiwaku bersamaan dengan kilatan cahaya yang kemilaunya menghentak
tak terhingga. Tubuhku bergetar hebat menerimanya hingga aku tak sadarkan diri
akan siapa aku yang sesungguhnya. Seakan-akan aku telah lenyap entah kemana dan
aku seolah bukanlah aku yang sesungguhnya dan keinginan untuk mencari perempuan
itu semakin kuat bak gelombang tak terbendung.
Aku mencari perempuan itu di segala penjuru mata
angin dan tak tahu jua adanya, sampai batas akhirnya aku terhenti di selembar
daun kering bekas tadah makananan anjing tempat perempuan itu memberi harapan
bagi anjing-anjing yang kelaparan. Aku menjilatinya dalam munajah dalam cinta
yang luar biasa nikmatnya sampai-sampai aku ekstase.“duh, Tuhan dimana pelacur yang memberi ketenangan pada anjing-anjing
yang kelaparan”.
***
Aku kembali ke tepi pantai
menyaksikan ribuan burung mengitari lautan maha luas, angin mengantar gulungan
ombak menerpa kakiku; aku basah jiwa raga, kudesiskan kesangsianku pada angin
yang membawa bianglala yang mulai menggambar langit. Aku berdiri terpanah
menangkap matahari tenggelam dan aku pun tenggelam dalam bongkahan karang yang
terkikis ombak dalam tafakur, tunduk dan sujud.
Dalam sujud panjangku; seorang
lelaki tak ku kenal dalam tubuh penuh cahaya berujar salam lantas menuntun langkahku
dalam Bismillah.
“Aku akan mengajakmu dalam
perjalanan panjang”
“Kemana?”
“Menuju doamu, menuju kesempurnaan
iman. Bukankah itu yang selalu kau panjatkan, ketika engkau berdiri di tepi
laut saat matahari mulai tenggelam?”
“Apakah Kau…?”
“Jangan bertanya apa-apa padaku.
Karena aku hanyalah jawaban dari kesabaran, tawakal dan keikhlasanmu dalam
menjalani hidup. Aku hanya ingin menyampaikan beberapa hal padamu:
jangan biarkan hatimu larut dalam kesedihan
dan
menyesal atas sesuatu kegagalan
jangan putus asa dalam
menghadapi kesulitan
perbanyaklah
berdzikir dan berdoa kepada Allah
jangan ada rasa takut kecuali
hanya kepada Allah
bersatulah karena Allah dan
berpisahlah karena Allah
jangan mempunyai musuh
kecuali dengan
iblis atau syetan
sering-seringlah engkau bangun
di penghujung malam
istighfarlah engkau
kepada Allah
dan
perbanyaklah bershalawat kepada Nabi
selalu ingat akan saat kematian
sadarlah bahwa
kehidupan dunia adalah kehidupan sementara
maafkan orang lain yang berbuat
salah kepadamu jangan dendam
dan jangan ada
keinginan membalas kejahatan dengan kejahatan
jangan benci kepada orang yang
membencimu
jangan sombong
ringankan beban orang lain
dan tolonglah
mereka yang mendapatkan kesulitan
jangan melukai hati orang
jadilah manusia yang bermanfaat
bagi sesama
waspadalah akan setiap ujian,
cobaan, godaan dan tantangan
jangan lari dari kenyataan hidup
yakinlah bahwa setiap kebajikan
akan melahirkan kebaikan
dan setiap
kejahatan akan melahirkan kerusakan
jangan bahagia di atas
penderitaan orang
dan jangan kaya
dengan memiskinkan orang lain
yakinlah bahwa Allah akan
meminta pertangungjawaban bagi setiap hambanya
di akhirat kelak
tentang apa yang telah dilakukannya selama di dunia”.
Laki-laki itu lantas menghilang seperti nyala
lilin tertiup angin, dan aku tak pernah benar-benar kembali dalam sujud
panjangku. Aku telah lenyap.**