Selamat Datang di Blog Kobong Sastra Cipasung

Share |

Upaya Pemberontakan Seorang Penyair


Oleh: Zulkifli Songyanan

Judul Buku: Tulisan pada Tembok
Penulis: Acep Zamzam Noor
Penerbit: Komodo Books
Tahun Terbit: 2011
ISBN: 978-602-91-3710-1
Ukuran: 14,5 x 20,5 cm; 108 hlm
  
Kepenyairan Acep Zamzam Noor (AZN) membentang sejak awal 1980-an hingga hari ini. Dalam rentang waktu lebih dari tiga puluh tahun itu, sekitar 10 kumpulan puisi tunggal berbahasa Indonesia telah lahir dari tangan AZN (i). Ditandai dengan Tamparlah Mukaku! (1982), secara tematik AZN muda mengawali kepenyairannya dengan menulis sajak-sajak ketuhanan (sufisme). Namun biarpun begitu, kumpulan puisi pertama AZN yang menghimpun 50 puisi itu, bicara juga ihwal keterasingan manusia, panorama alam, juga cinta dalam pengertiannya yang terbatas. Periode 1980-an merupakan periode yang subur bagi sajak-sajak ketuhanan. Dan bersama Emha Ainun Nadjib serta Ahmadun Yosi Herfanda (dua penyair yang juga menulis sajak-sajak ketuhanan), Harry Aveling menyebut AZN sebagai generasi kedua penulis Indonesia yang muncul di masa Orde Baru(ii).

Sebagai penulis yang tumbuh di masa Orde Baru, keputusan AZN untuk menulis sajak sosial bisa dibilang terlambat. Tentunya, hal itu bukan persoalan besar. Sebab bagi penyair, tema apapun yang ditulis, akan mempunyai makna jika ditunjang dengan kepekaan mengolah rasa (feeling) serta kemampuan memelihara bahasa. Dan bagi AZN sendiri, keputusannya untuk tidak menulis sajak sosial di awal kepenyairannya, lebih berhubungan dengan masalah teknis ketimbang masalah selera. "AZN menjanjikan akan menulis sajak sosial apabila telah menemukan bahasa" ungkap Beni Setia (iii).

Kini, 30 tahun setelah kelahiran Tamparlah Mukaku!, AZN telah tumbuh menjadi penyair dewasa, penyair mandiri: penyair yang telah menemukan bahasanya sendiri.

***

Tulisan pada Tembok menghimpun 87 puisi yang ditulis AZN antara tahun 1979-1989. Dalam catatan pembukanya, AZN menyebutkan bahwa sebagian besar puisi dalam antologi ini pernah dimuat dalam antologi lain, koran, majalah, dan jurnal. Sementara sebagian  lainnya belum dipublikasikan sama sekali. Sejumlah puisi yang dihimpun dalam antologi ini telah mengalami perubahan: huruf, kata, frasa, serta judul, namun tidak sampai mengganggu isi, bentuk, maupun suasana keseluruhan. Bagi saya sebagai pembaca, buku ini menjadi menarik justru lantaran perubahan itu.

Mengubah atau merombak puisi yang sebelumnya pernah termaktub dalam sejumlah buku, koran, maupun jurnal, bukanlah perkara baru dalam kesusastraan Indonesia. Sejumlah nama besar, seperti Chairil Anwar dan Afrizal Malna (untuk menyebut dua nama) tercatat pernah melakukan perombakan dalam puisi-puisinya. Dari fenomena demikian, pembaca memiliki hak untuk menilai apakah puisi-puisi yang sudah dirombak adalah puisi baru, atau sekedar apologi dari puisi sebelumnya yang dinilai belum matang dan memiliki cela? Apapun penilaian itu, puisi yang dirombak sudah dihadirkan penyair ke tengah pembaca. Dan dengan begitu, puisi-puisi tersebut telah menjadi milik khalayak yang patut diapresiasi, bagaimanapun caranya.
   
Secara filosofis, tulisan pada tembok (dalam pengertian yang sebenarnya) bisa diartikan sebagai sarana untuk berontak terhadap hal-hal yang dianggap mapan. Grafiti serta jenis tulisan/coretan lain pada tembok, umumnya mengisyaratkan ekspresi ketidakpuasan terhadap suatu hal yang sifatnya personal maupun komunal. Beranjak dari asumsi tersebut, saya menduga bahwa keputusan AZN menjadikan Tulisan pada Tembok sebagai judul kumpulan antologi puisi terbarunya, didasari oleh kehendak AZN untuk berontak terhadap karyanya sendiri. Dalam esainya "Sekitar Proses Kreatif Saya"(iv), AZN menyatakan ketidakpuasannya terhadap kumpulan puisi pertamanya. Ketidakpuasan AZN tidak semata karena cetakan bukunya yang jelek dan banyak kesalahan. Lebih jauh, AZN merasa dirinya belum mendapatkan pencapaian berarti dari kumpulan puisi pertamanya itu.

Pencapaian yang dimaksud AZN adalah pencapaian berbahasa, pencapaian untuk menaklukan kata-kata. Gaya ucap AZN di awal kepenyairannya, masih dipengaruhi gaya ucap para penyair pendahulunya. Pula, apa yang dituliskan AZN saat itu umumnya masih bersifat artifisial: puisi yang dituliskannya masih berkutat di wilayah permukaan dan belum sampai pada ungkapan simbolik yang lebih sublim maknanya.
   
Dalam "Mengapa Selalu Kutulis Sajak" (1982:10) misalnya, AZN mengawali puisinya dengan bait berikut:
   
Mengapa selalu kutulis sajak/Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku/Mengapa harus sajak, Tuhanku, mengapa harus ia/Yang mampu kupersembahkan kepadaMu//
   
Apa yang dituliskan AZN di atas, memperlihatkan batasan antara aku-lirik sebagai makhluk dengan Engkau-lirik sebagai Khalik. Gaya ucap demikian, tentunya malah menutup kemungkinan lain yang mesti diperoleh pembaca seusai membaca sebuah puisi. Simak bait "Mengapa Selalu Kutulis Sajak" (2011, 29) berikut:
   
Mengapa selalu kutulis sajak/Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku/Mengapa harus sajak, kekasihku, mengapa harus ia/Yang mampu kupersembahkan kepadamu//

Pada bait di atas, aku-lirik terlihat lebih dewasa. Aku-lirik telah sampai pada suatu maqam di mana persoalan transenden pada wilayah tata bahasa, tidak selamanya mesti disikapi secara normatif. Dengan demikian, penafsiran terhadap sebuah puisi relijius, tidak melulu berujung pada hubungan antara Tuhan dan hamba. Pada puisi di atas, unsur ambiguitas menemukan relevansinya. Dengan kata lain, meminjam ungkapan Beni Setia, ada tarikan ketuhanan dan kewanitaan, yang bisa ditafsirkan pembaca.

Selain urusan batiniah (urusan makna), urusan lahiriah pada Tulisan pada Tembok kiranya cukup penting juga untuk diapresiasi. Pada dua antologi sebelumnya (Jalan Menuju Rumahmu dan Menjadi Penyair Lagi), puisi-puisi AZN umumnya hadir dengan tipografi melebar ke samping dan larik-larik yang cenderung prosais. Sementara dalam antologi terbarunya, AZN terlihat sangat tertib dalam mempertimbangkan struktur rancang bangun puisi: tipografi puisi menjadi lebih ramping dan efektifitas gaya ucap, unsur rima serta pola kwatrin yang perlahan mulai ditinggalkan penyair angkatan 80-an, malah tampak dominan dalam kumpulan puisi AZN.

Ketika lembar hari luruh/Kabutmu jatuh/Mengaca di bukit-bukit jauh//Gerimis yang turun/Firmanmu yang ngungun/Kudengar lembut mengalun (Lanskap, hal: 36)

   
Tulisan pada Tembok tidak sepenuhnya terhindar dari keberadaan puisi-puisi prosais. Beberapa puisi masih memperlihatkan gejala demikian, termasuk puisi yang menjadi judul antologi ini, "Tulisan pada Tembok" (hal: 65)

Semuanya belum juga menepi. Kapal-kapal di samudera/Pesawat-pesawat di udara, panser-panser di jalanan/Di medan-medan pertikaian. Dan abad-abad yang bergulir/Tahun-tahun yang mengalir, musim-musim yang anyir/Entah kapan berakhir. "Dilarang kencing!" seekor anjing/Menyalak pada dunia. Langit nampak masih membara/Hujan bom di mana-mana. Terdengar tangis bayi/Jerit para pengungsi. Tak henti-henti -/Bukankah seratus Hadiah Nobel telah diobral/Dan seribu perundingan digelar? Tapi di manakah/Perdamaian? Masih adakah perdamaian itu? Semuanya/Belum mau menepi, belum mau melabuhkan diri//
   
   
Puisi yang sebelumnya terhimpun dalam jurnal Perang, Kata dan Rupa (Komunitas Salihara, 2009) itu, mungkin satu-satunya puisi dalam antologi terbaru AZN yang secara tegas bicara (protes) soal tema sosial. Sementara puisi-puisi lainnya, selain bicara soal ketuhanan dan cinta dalam pengertiannya yang luas, juga bicara soal sikap AZN dalam memaknai puisi sebagai pilihan hidupnya.

Seandainya sebuah kutukan/Maka kuterima ia sebagai kutukan/Akan kujalani dengan penuh ketulusan/Seandainya sebuah peleburan/Telah lama kurelakan seluruh hidupku/Menjadi sekedar debu di bawah telapak kakimu// (Mengapa Selalu Kutulis Sajak: hal 29).

Tema apa pun yang ditulis, juga panjang-pendeknya larik dan baris sebuah puisi, pada akhirnya tidak bermakna apa-apa jika berangkat dari ruang hampa. Puisi AZN tentu bukan puisi yang berangkat dari ruang demikian. Ada ruh kata-kata yang senantiasa terpancar dari puisi-puisinya. Dan Tulisan pada Tembok menjadi penting untuk dibaca, tidak semata lantaran kita akan menemukan benang merah 30 tahun kepenyairan AZN di dalamnya. Lebih dari itu, melalui buku kumpulan puisi dengan sampul yang menarik ini, AZN telah membuktikan bahwa puisi yang terus dihidupi, senantiasa memiliki tenaga untuk menggetarkan "suara lain" di dalam kesadaran manusia. *


(i) Tamparlah Mukaku! (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004), Menjadi Penyair Lagi (2007), dan Tulisan pada Tembok (2011).
(ii) Lihat: Harry Aveling, Rahasia Membutuhkan Kata (2003): 162-163.
(iii) Tulisan pada Tembok (2011:2).
(iv) Lihat: kumpulan esai Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk (2011) hal:254-273.



Zulkifli Songyanan, lahir di Tasikmalaya 02 Juni 1990. Menulis puisi dan esai. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra dan Sanggar Sastra Tasik. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa program studi Manajemen Pemasaran Pariwisata (MPP), Universitas Pendidikan Indonesia.
Prev Next Next
 

Copyright @ 2011 By. KSC